16/08/09

IDEALITAS YANG TERJUAL MURAH


Oleh: Robert Edy Sudarwan

Pjs. Ketua KAMMI Komisariat IAIN Raden Intan Lampung

Perjuangan politik adalah perjuangan idealitas. Perjuangan visi misi yang berbasis pada ideologi. Namun ketika dibenturkan dengan kepentingan yang menggiurkan, idealitas pun dijual dengan harga murah dan keuntungan menjadi orientasi yang sangat memalukan.

Tirani kekuasaan yang hari ini terus bergejolak cukup menutupkan mata yang semestinya tidak terpejam. Dengan dalih demokrasi semua cara pun digunakan. Berbagai pelanggaran kampanye yang semestinya tidak terjadi, menjadi sebuah bumbu penyedap rasa. Alih-alih ini adalah kesalahan administrasi, kesalahan mekanisme, kesalahan prosedur, dan kesalahan sensus kependudukan.

Mungkinkah ketika itu tidak disengaja dapat memberikan cerminan positif pada birokrasi yang sudah telanjur rentan dengan kemunafikan. Fakta membuktikan di Pulau Papua jumlah semua DPT sama persis dengan jumlah penduduk yang ada. Lalu apakah anak-anak di bawah umur pun ikut memilih? Ini adalah bagian kecil potret buram demokratisasi di negeri ini. Masih banyak lagi gugatan-gugatan dan temuan-temuan pelanggaran pemilu.

Perjalanan negeri yang sudah relatif tua hendaknya semakin hari semakin menuju ambang kesejahteraan. Tidak lagi berkutat pada permasalahan diri. Dan tidak semestinya hanya berkutat pada permasalahan moral dan perbaikannya. Karena sebenarnya itu adalah fondasi yang harus menjadi landasan pertama.

Momentum membangun negeri ini hendaknya diimbangi pula dengan momentum membangun moral peradaban. Disadari atau tidak, rusaknya bangsa ini adalah imbas dari rusaknya moral. Ketika moral kita baik maka orientasi dalam memegang tampuk kekuasaan adalah panggilan untuk membangun konstuksi bangsa ini. Bukan justru merongrong kekuasaan dengan dalih mengabdi kepada bangsa dan negara.

Efek yang akhirnya dirasakan merupakan buah dari perbuatan kita. Perbuatan kita dalam memilih dan memercayakan suara kita kepada calon pemimpin. Kepercayaan pada wakil kita yang akhirnya duduk di parlemen. Karena ini adalah bentuk kontribusi kita dalam membangun negeri ini. Namun ahirnya itu semua sirna dengan ketidakkonsistennya pengemban amanat yang yang hari ini kita percayakan.

Belum lagi mekanisme tebar janji yang harus dipenuhi oleh para calon yang sudah mengumbarnya. Ketika melihat mana yang terindikasi akan menang itulah yang akan dirapatkan. Serta mekanisme pembagian roti yang hari ini menjadi pertanyaan besar berapa proporsinya.

Sangat ironis dan disayangkan ketika melihat orang-orang yang ada di sana saat dalam konteks persaingan dapat bersaing dengan baik. Namun ketika sudah jelas kalah, akhirnya merapat dan mendekat untuk mendapatkan bagian bagian. Lalu di mana suara yang lalu ketika di awal bersama-sama membangun koalisi segitiga emas yang cukup membuat gempar. Antara Partai Golkar, PDI-P dan PPP untuk sama-sama membangun sebuah komitmen yang sudah dibuat bersama. Dalam perbaikan bangsa yang kita cita-citakan.

Sebuah pekerjaan rumah yang panjang dan mesti digarap dengan penuh keuletan ketika kita semua harus berani untuk berkomitmen dalam menaruhkan sikap kita. Ketika sikap kita sudah menyatakan diri untuk bersilangan dengan niatan menjadi penyeimbang dan menjadi penyelaras yang baik. Mengapa itu tidak dilaksanakan dengan penuh konsisten dan tanggung jawab menjadi oposisi yang baik.

Karena sebenarnya kemenangan itu tidak dilihat dari sejauh mana kita bergabung dengan birokrasi dengan kerja-kerja yang nyata di pemerintahan. Hal ini sangat rentan dengan perpecahan ketika itu semua terus menjadi mainstream pemikiran. Akan tidak baik ketika parlemen itu hanya satu warna. Hal itu sangat mengkhawartirkan karena akan terasa hanya akan ada satu kebijakan. Tanpa ada kontrol sosial yang menjadi penyeimbang itu semua.

Ternyata kesadaran untuk menjadi penyelaras pada bangsa ini sangat minim adanya. Orang-orang elite yang mestinya menejadi panutan untuk mengambil sebuah kebijakan politik pun terindikasi melacurkan diri ke ranah sistem. Yang akhirnya nanti tergerus pada pusaran roda politik yang disetir pada satu sudut. Dan akan sangat mengkhawatirkan ketika laten kediktatoran muncul kembali di era ini.

Kesanggupan menerima segalanya merupakan jiwa yang harus di tumbuhkan oleh para pejuang politik. Karena tanpa idealitas politik itu menjadi dunia kecambah. Sedikit-sedikit berubah dan menghilangkan fungsinya sebagai organ yang semestinya konsisten dengan tujuannya. Lalu apa yang akan diperjuangkan oleh partai politik, ketika sudah tidak mampu memakanai ideologi dan tujuan menjadi partai politik.

Sejatinya ini adalah permasalahan bangsa kita. Disadari atau tidak kita hidup pada bagian negeri ini. Dan tidak dapat dipungkiri ternyata kita ada di dalamnya. Lalu hal apa yang semestinya dapat kita lakukan dalam diri kita. Selain hanya wacana-wacana perbaikan karena kaum muda pun sangat memprihatinkan kualitasnya yang sudah cenderung hedonis.

Pemaknaan terhadap idealitas ternyata menjadi buram. Lebih lagi terhadap konsistensi kita kepada ketekadan dalam memenangkan tirani kekuasaan. Pemasungan terhadap perjuangan ideologi pun menjadi sebuah harga baku dalam memenangkan proses pemilu.

Lalu apakah kita hanya akan hidup dengan idealitas? Tentu saja tidak, kita membutuhkan sisi yang lain. Dan sisi-sisi itu didapat dari proses ideologisasi. Apa lagi yang menjadi harga pada diri kita ketika idealitas terjual dengan murah. Lalu hal apa yang akan diperjuangkan ketika kita terbelenggu oleh kejamnya kepentingan yang menjadi Tuhan.

Ini tidak mudah, dan hal ini mesti kita menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Karena tanpa ada penggiat idealitas dan pengawalnya. Akan sangat dikhawatirkan bisa saja negeri ini tergadaikan dengan kepentingan-kepentingan sesaat. Dan tentu untuk mendapatkan idealitas yang baik juga dibutuhkan kesiapan kita untuk menjadi orang yang kuat. Kuat dalam menahan dan menerima godaan di perjalanan politiknya.

Dengan demikian tidak mudah ketika kita berbincang tentang ideologi kita juga tergerus dalam permainan sistem pergadaian ideologi. Syarat yang dapat membuat kita kuat dalam memperjuangkan ideologi adalah kedewasaan moral yang matang. Karena idealitas sama artinya dengan perjuangan moral. Perjuangan dalam memenangkan suatu visi, misi, dan ideologi. Perjuangan untuk membangun sistem dengan cita dan harapan dari diri kita. Lalu hal apa yang akan diperjuangkan ketika kita tidak bisa konsisten dengan visi kita.

Dalam perjalanannya akan banyak kita temukan ketika para politisi kehilangan orientasi. Ketika kepentingan menjadi dalih kebijakan. Maka akan kita dapati perjuangan yang hambar dan gersang tanpa makna. Bahkan yang terasa adalah pembodohan publik. Karena yang dicari hanyalah kedudukan dan uang.

Lalu apa jadinya negeri ini ketika dipimpin oleh orang yang menjual murah keteguhan. Lalu apa yang akan mereka semua perjuangkan. Akankah ini semua berlarut, ketika mulai tampak hidangan di depan mata, alih-alih kestabilan berbondong-bondong masuk ikut mengambil jatah. Hendaknya kita sadar bahwa kita sudah mengambil keputusan. Toh, menjadi oposisi yang bukan asal beda, membenarkan ketika benar dan mengoreksi serta memberi solusi ketika salah. Itu lebih mulia dibanding ikut tergerus dalam sistem di dalamnya. Ini membutuhkan kedewasaan moralitas yang mesti diperjuangkan.

Dimuat di SKHU Lampung Post, 15 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar