07/02/10

Rekayasa Menumbangkan Negeri Islam Terbesar


Muslim dengan Muslim pun dibenturkan. Karena itu, waspadalah dengan skenario musuh Islam yang ingin memperlemah, mengobok-obok dan meluluhlantakkan Islam hingga akar-akarnya.

Oleh Adhes Satria & Daniel Handoko

Perang yang sedang berlangsung saat ini adalah perang tanpa senjata. Tentu ibadah tertinggi adalah jihad qital. Tapi kondisi di Indonesia belum memungkinkan untuk diterapkan jihad Qital. Yang harus dilakukan adalah mengcounter pemikiran dengan pemikiran, teknologi dengan teknologi, ekonomi dengan ekonomi, gaya hidup dengan gaya hidup. Inilah manuver yang kita sebut perang tanpa senjata.

Menurut sosok generasi muda seperti Thufail Al Ghifari, cara yang paling efektif untuk menghancurkan Islam adalah dengan pemikiran. Musuh Islam tahu, bahwa kunci utama umat Islam adalah Al Qur’an. Karena itu, target mereka adalah mejauhkan umat Islam dari Al Qur’an. Bagi mereka, itu sudah cukup.

“Kita memang hidup di negara yang mayoritas penduduknya Muslim, tapi yang mayoritas itu harus dipertanyakan lagi, berapa banyak umat Islam yang shalat lima waktu, berapa banyak yang bisa membaca Al Qur’an, kemudian yang paham dan mengamalkannya. Ternyata kalau dikerucutkan, umat Islam sendiri sangat jauh dari nilai-nilai Al Qur’an. Ironinya, kita malah terkecoh dengan pemikiran-pemikiran, syair-syair, lirik yang datang dari orientalis daripada ayat Al Qur’an,” tukas Thufail, aktivis Muslim dari kalangan underground.

Sumber kehancuran dari segala kehancuran di muka bumi, bermuara pada konspirasi Zionisme internasional. Zionis ada di mana-mana walaupun mereka berkedok komunis. Ada pula yang merasa bukan Zionis, tapi dia selalu menjalankan agenda Zionis.

“Tidak menutup kemungkinan, Islam pun disusupi Zionis. Karena Zionis itu tidak lagi memakai baju Zionis. Seorang Zionis tentu tidak akan mengaku dirinya Zionis. Sebab, dia tidak peduli dengan label. Nah, ketika Zionis tidak pake baju Zionis, otomatis dia bisa tampil dalam segala bentuk. Ketika komunitasnya mengenakan baju dayak, dia akan pake baju dayak. Jika komunitasnya berpakaian Jawa, dia akan pake baju jawa. Jadi apapun labelnya, seorang antek-antek Zionis selalu akan membawa kepentingannya,” ungkap Thufail yang juga bergabung dengan kelompok KaZI (Kajian Zionisme Internasional).

Bukan tidak mungkin, Zionis memakai tampilan Islam, seperti peci, berpakaian Muslim, tapi esensi yang mereka tanamkan adalah feminisme, sekularisme, pluralisme, liberalisme, menciptakan keraguan-keraguan, menalar Allah dengan logika, membuat haluan-haluan baru dalam Islam dengan berkedok moderat atau apapun namanya. Ujung-ujungnya adalah mereka ingin umat Islam terbiasa dengan kultur Yahudi dan Nasrani. “Walaupun kita mengaku Islam, tapi digiring untuk menjadi bagian dari millah mereka. Contoh, kita terbiasa mengikuti perayaan tahun baru masehi dengan kembang api, terompet, hura-hura, dan kemaksiatan lainnya,” jelas Thufail.

Banyak sudah negeri-negeri Muslim yang sudah dihancur-leburkan oleh kekuatan global bernama Barat. Mungkinkah Indonesia akan di Pakistan-kan? ”Untuk meramal tentu sulit, karena itu suatu hal yang ghaib. Tapi, jika melihat bukti-bukti yang riil, bisa kita rasakan, Islam dibenturkan dengan Islam. Karena itu, harus ada yang bisa mereduksi, agar ukhuwah Islamiyah tidak terganggu. Atas nama HAM, orang yang menista agama malah dibekingi, sedangkan orang yang minta ditegakkannya syariat malah dibilang teroris. Kalau umat Islam saling dibenturkan, bukan tidak mungkin, kondisi di Pakistan akan hadir juga. Tapi kita tahu kapan terjadi. Yang jelas, bibitnya sudah mulai terasa. Kita tak ingin, bangsa ini kehilangan identitasnya.”

Melawan Liberalisme
Hasil dari neoliberalisasi adalah kehancuran bagi yang lemah dan kemenangan bagi yang kuat. Kita dipaksa bersaing dengan negara yang sudah merdeka ratusan tahun, bersaing dengan negara yang selalu mengeruk kekayaan bangsa, dan pada awal 2010 nanti, akan masuk wilayah FTA (Free Trade Area). “Di era perdagangan bebas ini, jelas akan semakin melemahkan bangsa indonesia. Semua produk asing akan masuk dengan bebas. Apakah rakyat kita mau seperti itu?” kata Siti Fadilah kepada Sabili saat membuka acara diskusi Kajian Zionis Internasional di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta.

Lebih lanjut, Siti Fadilah mengatakan, banyak pejabat atau pembesar negara menandatangani kebijakan yang menguntungkan pihak asing, hampir 90% kekayaan alam sudah bukan milik kita, 90% bank yang ada juga bukan milik kita. Semuanya sudah dimiliki pihak asing. Sistem yang berjalan itulah yang menjadi gurita untuk menghancurkan Indonesia. Sementara, sistem neo-liberal yang sedang berjalan tidak bisa dirubah, padahal sebetulnya, kita bisa menolak atau tidak menggunakan sistem tersebut. Seperti Iran, Cina, yang tidak menggunakan sistem neo-liberal. Sistem ini tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia, kecuali jika sudah kuat dan terukur dalam segala bidang. “Gurita Zionis masuk ke dalam dunia kesehatan dan pendidikan karena dua hal ini. Mengingat, dua sektor ini merupakan kebutuhan mendasar bagi masyarakat.”
Dalam dunia pendidikan, misalnya, ada pemberlakuan BHP (Badan Hukum Pendidikan) pada perguruan tinggi. Dengan diberlakukannya otonomi kampus, telah membuka pintu masuk bagi asing untuk memberikan sokongan dana, disadari atau tidak, dana itu sebagian berasal dari Zionis melalui tangan NGO atau negara asing. “Makna Zionis jangan dipersempit hanya simbol atau agama, tapi lebih luas dalam aspek kehidupan,” kata Siti Fadilah.

Sementara itu dikatakan Dr Nirwan Syafrin (Direktur Eksekutif INSISTS), upaya penghancuran Indonesia mengalami pola yang beragam. Musuh Islam sangat menyadari, jika perang fisik membutuhkan sokongan dana yang tidak sedikit, pola yang gencar dilakukan adalah menyerang dalam ranah pemikiran. Keberadaan gerakan liberal menjadi bukti. Negara asing itu tak perlu turun langsung, tapi cukup menurunkan pion-pion mereka yang sudah dididik untuk berhadapan dengan kalangan konservatif.
Gerakan liberal tumbuh dengan subur di Indonesia karena counter dari kalangan ulama tidak keras. Berbeda dengan beberapa negara Islam, seperti Sudan, ulama mengcounter gerakan liberal sangat keras. Aneh, jika banyak kiai dan ulama di Indonesia malah disibukkan dengan aktifitas politik. “Sebuah report yang diterbitkan oleh Rand Corporation berjudul Building Muslim Network menyatakan, bahwa perang yang diterapkan dalam dunia Muslim adalah perang ide (Ghazwul Fikri). Upaya deIslamisasi terhadap generasi muda Muslim dengan menjauhkan budaya atau ajaran Islam, lambat laun membuat semangat jihad umat Islam luntur, bahkan tidak muncul lagi. Perang ide yang dikobarkan adalah melalui liberalisasi dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.

Salah satu bentuk konkrit liberalisasi dalam pendidikan adalah dengan maraknya twining program, pertukaran mahasiswa dan beasiswa dari negara liberal. Beberapa kampus melakukan kerja sama dengan kampus asing seperti Mcgill atau temple university dengan fokus kajian pluralisme agama, atau kesetaraan gender. Bahkan ada yang melegalkan pernikahan antar agama.
Pola yang sedang dan sering dilakukan untuk meliberalkan Indonesia adalah dengan memberikan beasiswa sebanyak-banyaknya kepada generasi muda Muslim untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Mereka banyak ‘disuapi’ ide-ide pluralisme dan dijadikan corong di negerinya masing-masing. Orientalis Barat tidak perlu datang ke Indonesia, cukup mahasiswa Indonesia yang pernah kuliah di luar negeri sudah bisa dijadikan pion untuk mengasongkan dagangan sepilisnya (sekularisme, pluralisme dan liberalisme).

Dampak parah dari ide liberal, banyak kaum liberal yang menggugat otentisitas wahyu, bahkan ada yang buku yang diterbitkan oleh institusi agama Islam berjudul “Indahnya Nikah Sejenis” (kumpulan artikel Justucia Semarang), penulisnya justru dari seorang mahasiswa Islam. Orientalis sendiri tidak membuat artikel tersebut, tapi cukup dikaji oleh pion-pion mereka. Parahnya sebuah seminar dengan tajuk “Gay jadi, kawin juga boleh” diadakan oleh salah satu universitas Islam di yogja. Kesalahan terparah, banyak mahasiswa Islam mempertanyakan otensistas wahyu dan meruntuhkan sakralitas wahyu. Mereka juga banyak mensakralkan buku-buku dengan ide pluralisme dan meragukan Al-Qur’an.

Ketika kaum liberal mendekonstruksi kesucian Al Qur’an, maka yang terkandung dalam Al Qur’an akan memberikan kesimpulan, bahwa semua bukan kalam Tuhan. Sama persis apa yang mereka lakukan terhadap kristen. Otomatis hukum yang terkandung sudah tidak layak diterapkan dalam dunia modern, hukum yang pondasi dalam Islam dianggap tidak ada.

Dikatakan Nirwan, upaya melawan liberal adalah melalui pendidikan sebagai dasar generasi muda. Selain itu, harus dipersiapkan pula kurikulum yang tidak terkontaminasi arus liberal, termasuk dosen-dosennya. “Indoktrinasi liberal banyak terjadi dalam kampus-kampus, maka dosennya pun harus lebih selektif untuk meng-counter arus liberal, bahan penyeimbang ide liberal harus juga diberikan dalam dunia pendidikan,” tandasnya.
Lebih jauh, Nirwan menegaskan, partisipasi semua lembaga agama (Islam) harus dilibatkan, dukungan semua lini juga sangat dibutuhkan untuk menghadang liberalisasi, termasuk dukungan politik untuk membuat undang-undang dunia pendidikan. Ormas Islam punya peran besar untuk mempersiapkan kader intelektual dalam bidang agama agar tidak di “cuci otak” nya, jika belajar ke negeri Barat. Peran pemerintah dalam memberikan pelatihan terhadap guru, hendaknya tidak terjebak dengan isu multikulturalisme. Ingat, pertarungan tidak hanya wacana tapi sudah meningkat kepada tingkat aksi, ideologi dan seterusnya.

Tak dipungkiri, ghazwul fikri tumbuh subur di Indonesia. Mereka memodifikasi modus operandi untuk melemahkan semangat kaum Muslimin. Salah satunya dengan menyusupkan narkoba ke jantung basis umat Islam, menanam mental korupsi, membiarkan perzinahan, penyebaran penyakit dengan berbagai virus, memancing kemarahan umat Islam dengan karikatur, artikel yang melecehkan Nabi Muhammad Saw dan sebagainya.
Modus lama yang masih efektif adalah memberi banyak penghargaan terhadap tokoh-tokoh Muslim yang mendukung pluralisme, selularisme dan liberalisme. Zionis Israel, AS, Inggris, dan negara Barat lainnya memang paling royal dengan penghargaan ini. Karena dianggap oknum tokoh Islam yang gila dengan penghargaan, apalagi jika ditunjang dengan dollar.

Ketika semua persoalan itu tak bisa diantisipasi, pejabat Muslim tidak memiliki intergritas lagi. Jika trust jatuh pada titik nadir, yang berkembang adalah menciptakan devide et impera (politik adu domba) antar umat Islam sendiri, sebagaimana yang terjadi di negara Pakistan. Muslim dengan Muslim pun dibenturkan. Karena itu, waspadalah dengan skenario musuh Islam yang ingin memperlemah, mengobok-obok dan meluluhlantakkan Islam hingga akar-akarnya Untuk merealisasikan kehancuran Islam itu, ditebarlah spionase-spionase yang menjadi kaki tangan Barat ke seluruh negeri berpenduduk muslim, termasuk Indonesia. Jika dulu, Belanda punya spionase Snouck Hurgronje, Inggris merekrut Thomas Edward Lawrence alias Lawrence of Arabia, Israel punya Johann Wolfgang Lotz, Hampher (Inggris) dan sebagainya. Agen-agen resmi negara, seperti CIA (AS), Mossad (Israel), M16 (Inggris) dan agen swasta lainnya punya andil untuk menghancurkan Islam. TE Lawrence, misalnya, ia ditugaskan untuk memprovokasi para kepala suku dan mengobarkan pemberontakan terhadap Monarki Turki, lalu terjadilah Revolusi Arab.

Di Indonesia, sosok Snouck Hurgronje dikenal sebagai spionase Belanda yang mempelajari Islam dan menyebarkan fitnah di tengah masyarakat Muslim. Dengan menggunakan pengetahuan tentang Islam dan sejarahnya, Snouck menjalankan siasat busuknya untuk mencari kelemahan umat Islam dari dalam. Di balik ”penelitian ilmiah” itulah, ia melakukan aktivitas spionase, demi kepentingan penjajah dan melanggengkan kekuasaan kolonial. Dengan cara manipulasi, pengkhianatan, dan pura-pura masuk Islam, Snouck berganti nama menjadi Abdul Ghaffar, mempelajari Islam di Makkah Al Mukarramah, bahkan menunaikan ibadah haji.

Selama di Hijaz, ia berbaur dengan masyarakat Indonesia yang mukim di sana, dan menjalin hubungan erat dengan para ulama Mekkah dan Indonesia, khususnya asal Jawa, Sumatera, dan Aceh. Banyak data-data penting dan informasi yang diperoleh, saat ia memata-matai gerakan anti penjajahan, terutama ihwal rencana para ulama Indonesia yang akan menyerukan jihad melawan Belanda di Tanah Air. Snouck kemudian menawarkan diri kepada pemerintah Belanda untuk ditugaskan di Aceh. Ia membuat laporan panjang yang berjudul ”Kejahatan-kejahatan Aceh”. Laporan ini menjadi acuan dan dasar kebijakan politik dan militer Belanda dalam menghadapi masalah Aceh.

Snouck lalu merekomendasikan, bahwa yang berada di balik perang dahsyat Aceh dengan Belanda adalah para ulama. Sedangkan tokoh-tokoh formalnya bisa diajak damai dan dijadikan sekutu, karena ia yakin tokoh-tokoh itu hanya memikirkan duniawinya, mengamankan posisinya. ”Islam harus dianggap sebagai faktor negatif karena dialah yang menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan Muslimin. Islam membangkitkan kebencian dan permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda,” begitu statemen Snouck. Itulah sebabnya, ia meyakinkan pemerintah Belanda, kekuatan di Aceh bisa ditaklukkan bila ulamanya ”dibersihkan”.

Siasat politik Devide et impera, pecah dan kuasai yang dilancarkan Snouck Hurgronje menjadi inspirasi dan terus di up-date oleh musuh-musuh Islam di era globalisasi sekarang ini. Terbukti, spionase kaki tangan Barat, kini ditanam di negeri-negeri muslim dan di setiap organisasi pergerakan Islam, dengan cara menebar virus sekuler-liberalisme ke dalam otak interlektual muslim. Agen-agen lokal berwajah melayu ini direkrut dan diracuni pola pikirnya, tentu saja dengan kucuran dana yang menjanjikan. Agen-agen Melayu ini ditebar untuk menjadi duri dalam daging di tubuh umat Islam.

Atas nama HAM, demokrasi, pengusung liberal dan pluralisme hendak memberangus Islam dengan cara menjegal perda-perda yang dianggapnya berbau syariat. Mereka tampil sebagai pembela maksiat, kaum homoseksual, pornografi, penghina Nabi, peleceh Al Qur’an, penggugat syariat Islam, dan menyiapkan segudang amunisi untuk melumpuhkan pejuang syariat Islam. Bagi orientalis, ini adalah kemajuan besar.
Tak beda dengan Snouck, Hampher saat menjalankan tugas spionasenya, diibekali buku setebal seribu halaman berjudul ”Cara Menghancurkan Islam” oleh Sekretaris Kementerian Inggris. Buku itu yang berisi informasi tentang sumber kekuatan dan juga titik lemah umat Islam ini merupakan hasil pengamatan di bidang militer, ekonomi, pendidikan dan agama.

Ada beberapa strategi yang dikemukakan Hampher untuk menjatuhkan Islam, diantaranya: Menimbulkan kontroversi dengan memicu kebencian diantara kelompok-kelompok yang bertikai, menyebarkan ketidakpercayaan, dan menerbitkan bacaan yang memicu kontroversi; Melenyapkan buku-buku tentang Islam sebanyak mungkin; Menjunjung kepentingan surgawi sehingga lupa bekerja untuk dunia, memperbesar pengaruh tasawuf, menjebar umat Islam dengan prinsip zuhud; Membujuk penguasa agar terus menjadi diktator dan kejam; Menghapus hukuman mati bagi para pembunuh dengan Undang-undang; Membiasakan diri dengan gaya hidup bebas, korup, riba, drugs, miras, pornografi; Menebarkan kebencian untuk melawan ulama agar jauh dari umat Islam; Mendukung oposisi untuk melawan pemerintah.

Apalagi? Dimunculkan chauvinisme, rasisme dan nasionalisme diantara umat Islam untuk memecah perhatian mereka dengan heroisme masala lalu; Melegalkan alkohol, perjudian, perzinahan, babi dan perkelahian; Menyebarkan kecurigaan seputar jihad; Menghilangkan ungkapan kafir adalah buruk; Menanamkan anggapan bahwa membangun gereja di negara Islam tidaklah haram dengan dalil-dalil tertentu; Menghalangi umat Islam beribadah dan membuat mereka lupa akan fungsi ibadah; Menghalangi pembangunan masjid, melarang adzan, menara, cadar, jilbab dan simbol Islam lainnya.

Selanjutnya, memasukkan unsur bid’ah dalam ajaran Islam dan mengkritik Islam sebagai agama teror; Menghalangi pertambahan jumlah umat Islam dengan pembatasan jumlah kelahiran dan pelarangan poligami serta membatasi pernikahahan. Misalnya melarang pernikahan orang Iran atau Turki dengan Arab; Membatasi lembaga keagamaan dan hanya menjadi monopoli pemerintah; Memasukkan keraguan akan keotentikan al Qur’an dalam benak umat Islam.

Inilah era baru, perang pemikiran, perang tanpa senjata, perang yang tak menelan biaya mahal. Sudah saatnya, kaum Muslimin merapatkan barisan, agar tidak terkecok dengan kedok mereka yang berbaju HAM, demokrasi, dan pluralisme.
(sumber:www.sabili.co.id)