29/11/09

BAPINDA GELAR DISKUSI


SUKARAME (15/11/2009). Bertempat di samping gedung perpustakaan kampus setempat, sekitar 100-an kader dan simpatisan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Pembinaan Dakwah (UKM-BAPINDA) IAIN Raden Intan Lampung menggelar diskusi kampus bertemakan “Kupas Tuntas Problematika Dakwah Kampus dan Solusi Pemecahannya”. Diskusi yang berlangsung mulai pukul 08.00 – 12.00 WIB dan dipandu oleh Rovel Rinaldi selaku Ketua Umum UKM-BAPINDA, menghadirkan dua narasumber: Rozi Rozali Musa, S.Ag. (Mantan Ketum UKM-BAPINDA Periode I – II), dan Muh. Triono, S.Sos.,©M.I.P (Pengamat gerakan mahasiswa dan Konsultan FSLDK Lampung).


Dalam paparannya Rozi menyampaikan, bahwa dakwah kampus akan terus mengalami dinamika perjalanannya yang terus menuntut keteguhan para kader-kader dakwahnya dalam mengemban amanah mulia ini, dari itu amal jama’i dan terus meningkatkan potensi kadernya adalah kunci dari keberlangsungan eksistensi dakwah kampus. Sementara narasumber kedua, akh Tri lebih menekan pada pemaparan aspek solutif terhadap problematika dakwah kampus dewasa ini. Ia menegaskan bahwa kader dakwah janganlah bersikap eksklusif terhadap fikroh/firqoh kelompok lainnya, para ADK harus welcome dan membaur dengan civitas akademika lainnya, karena disanalah letak tantangan dari dakwah ammah dan dakwah infirodi. Masih menurutnya, para kader dakwah harus terus mengupdate tiga potensi pribadinya yakni; potensi fikriyah, potensi jasadiyah, dan potensi ruhiyahnya.


Secara terpisah, Rovel Rinaldi mengatakan bahwa acara diskusi ini merupakan agenda rutinitas yang kerap dilakukan oleh UKM-BAPINDA melalui progja dari Divisi Kajian Keilmuan dan Keislaman (KKK), tujuannya adalah untuk mempererat silaturrahim sesama pengurus dan kader dan menambah wawasan keilmuan bagi para kader dan mahasiswa umum.

(Akbar/Hublu Center)

19/11/09


GAIRAH CINTA DAN KELESUAN UKHUWAH

Ustadz Rakhmat Abdullah

Mungkin terjadi seseorang yang dahulunya saling mencintai akhirnya saling memusuhi dan sebaliknya yang sebelumnya saling bermusuhan akhirnya saling berkasih sayang. Sangat dalam pesan yang disampaikan Kanjeng Nabi SAW : "Cintailah saudaramu secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi orang yang kau benci. Bencilah orang yang kau benci secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi kekasih yang kau cintai." (HSR Tirmidzi, Baihaqi, Thabrani, Daruquthni, Ibn Adi, Bukhari). Ini dalam kaitan interpersonal. Dalam hubungan kejamaahan, jangan ada reserve kecuali reserve syar'i yang menggariskan aqidah "La tha’ata limakhluqin fi ma’shiati’l Khaliq". Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq dalam berma'siat kepada Alkhaliq. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Hakim).

Doktrin ukhuwah dengan bingkai yang jelas telah menjadikan dirinya pengikat dalam senang dan susah, dalam rela dan marah. Bingkai itu adalah : "Level terendah ukhuwah (lower), jangan sampai merosot ke bawah garis rahabatus’ shadr (lapang hati) dan batas tertinggi tidak (upper) tidak melampaui batas itsar (memprioritaskan saudara diatas kepentingan diri).

Bagi kesejatian ukhuwah berlaku pesan mulia yang tak asing di telinga dan hati setiap ikhwah : "Innahu in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa in lam yakunu bihi fasayakununa bighoirihi" (Jika ia tidak bersama mereka, ia tak akan bersama selain mereka. Dan mereka bila tidak bersamanya, akan bersama selain dia). Karenanya itu semua akan terpenuhi bila ‘hati saling bertaut dalam ikatan aqidah’, ikatan yang paling kokoh dan mahal. Dan ukhuwah adalah saudara iman sedang perpecahan adalah saudara kekafiran (Risalah Ta'lim, rukun Ukhuwah).

Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah

Karena bersaudara di jalan ALLAH telah menjadi kepentingan dakwah-Nya, maka "kerugian apapun" yang diderita saudara-saudara dalam iman dan da'wah, yang ditimbulkan oleh kelesuan, permusuhan ataupun pengkhianatan oleh mereka yang tak tahan beramal jama'i, akan mendapatkan ganti yang lebih baik. "Dan jika kamu berpaling, maka ALLAH akan gantikan dengan kaum yang lain dan mereka tidak akan jadi seperti kamu" (Qs. 47: 38).

Masing-masing kita punya pengalaman pribadi dalam da'wah ini. Ada yang sejak 20 tahun terakhir dalam kesibukan yang tinggi, tidak pernah terganggu oleh kunjungan yang berbenturan dengan jadwal da'wah atau oleh urusan yang merugikan da'wah. Mengapa ? Karena sejak awal yang bersangkutan telah tegar dalam mengutamakan kepentingan da'-wah dan menepiskan kepentingan lainnya. Ini jauh dari fikiran nekad yang membuat seorang melarikan diri dari tanggungjawab keluarga.

Ada seorang ikhwah sekarang sudah masuk jajaran masyaikh. Dia bercerita, ketika menikah langsung berpisah dari kedua orang tua masing-masing, untuk belajar hidup mandiri atau alasan lain, seperti mencari suasana yang kondusif bagi pemeliharaan iman menurut persepsi mereka waktu itu. Mereka mengontrak rumah petak sederhana. "Begitu harus berangkat (berdakwah-red) mendung menggantung di wajah pengantinku tercinta", tuturnya. Dia tidak keluar melepas sang suami tetapi menangis sedih dan bingung, seakan doktrin da’wah telah mengelupas. Kala itu jarang da’i dan murabbi yang pulang malam apalagi petang hari, karena mereka biasa pulang pagi hari. Perangpun mulai berkecamuk dihati, seperti Juraij sang abid yang kebingungan karena kekhususan ibadah (sunnah) nya terusik panggilan ibu. "Ummi au shalati : Ibuku atau shalatku?" Sekarang yang membingungkan justru "Zauji au da’wati" : Isteriku atau da’wahku ?".

Dia mulai gundah, kalau berangkat istri cemberut, padahal sudah tahu nikah dengannya risikonya tidak dapat pulang malam tapi biasanya pulang pagi, menurut bahasa Indonesia kontemporer untuk jam diatas 24.00. Dia katakan pada istrinya : "Kita ini dipertemukan oleh Allah dan kita menemukan cinta dalam da’wah. Apa pantas sesudah da’wah mempertemukan kita lalu kita meninggalkan da’wah. Saya cinta kamu dan kamu cinta saya tapi kita pun cinta Allah". Dia pergi menerobos segala hambatan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih mendung, namun membaik setelah beberapa hari. Beberapa tahun kemudian setelah beranak tiga atau empat, saat kelesuan menerpanya, justru istri dan anak-anaknyalah yang mengingatkan, mengapa tidak berangkat dan tetap tinggal dirumah? Sekarang ini keluarga da’wah tersebut sudah menikmati berkah da’wah.

Lain lagi kisah sepasang suami istri yang juga dari masyarakat da’wah. Kisahnya mirip, penyikapannya yang berbeda. Pengantinnya tidak siap ditinggalkan untuk da’wah. Perang bathin terjadi dan malam itu ia absen dalam pertemuan kader (liqa’). Dilakukan muhasabah terhadapnya sampai menangis-menangis, ia sudah kalah oleh penyakit "syaghalatna amwaluna waahluna : kami telah dilalaikan oleh harta dan keluarga" (Qs. 48:11). Ia berjanji pada dirinya : "Meskipun terjadi hujan, petir dan gempa saya harus hadir dalam tugas-tugas da’wah". Pada giliran berangkat keesokan harinya ada ketukan kecil dipintu, ternyata mertua datang. "Wah ia yang sudah memberikan putrinya kepadaku, bagaimana mungkin kutinggalkan?". Maka ia pun absen lagi dan dimuhasabah lagi sampai dan menangis-nangis lagi. Saat tugas da'wah besok apapun yang terjadi, mau hujan, badai, mertua datang dll pokoknya saya harus datang. Dan begitu pula ketika harus berangkat ternyata ujian dan cobaan datang kembali dan iapun tak hadir lagi dalam tugas-tugas dak-wah. Sampai hari ini pun saya melihat jenis akh tersebut belum memiliki komitmen dan disiplin yang baik. Tidak pernah merasakan memiliki kelezatan duduk cukup lama dalam forum da’wah, baik halaqah atau pun musyawarah yang keseluruhannya penuh berkah. Sebenarnya adakah pertemuan-pertemuan yang lebih lezat selain pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh ikhwah berwajah jernih berhati ikhlas ? Saya tak tahu apakah mereka menemukan sesuatu yang lain, "in lam takun bihim falan takuna bighoirihim".

Di Titik Lemah Ujian Datang

Akhirnya dari beberapa kisah ini saya temukan jawabannya dalam satu simpul. Simpul ini ada dalam kajian tematik ayat QS Al-A’raf Ayat 163 : "Tanyakan pada mereka tentang negeri di tepi pantai, ketika mereka melampaui batas aturan Allah di (tentang) hari Sabtu, ketika ikan-ikan buruan mereka datang melimpah-limpah pada Sabtu dan di hari mereka tidak bersabtu ikan-ikan itu tiada datang. Demikianlah kami uji mereka karena kefasikan mereka". Secara langsung tema ayat tentang sikap dan kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar. Tetapi ada nuansa lain yang menambah kekayaan wawasan kita. Ini terkait dengan ujian.

Waktu ujian itu tidak pernah lebih panjang daripada waktu hari belajar, tetapi banyak orang tak sabar menghadapi ujian, seakan sepanjang hanya ujian dan sedikit hari untuk belajar. Ujian kesabaran, keikhlasan, keteguhan dalam berda’wah lebih sedikit waktunya dibanding berbagai kenikmatan hidup yang kita rasakan. Kalau ada sekolah yang waktu ujiannya lebih banyak dari hari belajarnya, maka sekolah tersebut dianggap sekolah gila. Selebih dari ujian-ujian kesulitan, kenikmatan itu sendiri adalah ujian. Bahkan, alhamdulillah rata-rata kader da’wah sekarang secara ekonomi semakin lebih baik. Ini tidak menafikan (sedikit) mereka yang roda ekonominya sedang dibawah.

Seorang masyaikh da’wah ketika selesai menamatkan pendidikannya di Madinah, mengajak rekannya untuk mulai aktif berda’wah. Diajak menolak, dengan alasan ingin kaya dulu, karena orang kaya suaranya didengar orang dan kalau berda’wah, da’wahnya diterima. Beberapa tahun kemudian mereka bertemu. "Ternyata kayanya kaya begitu saja", ujar Syaikh tersebut.

Ternyata kita temukan kuncinya, "Demikianlah kami uji mereka karena sebab kefasikan mereka". Nampaknya Allah hanya menguji kita mulai pada titik yang paling lemah. Mereka malas karena pada hari Sabtu yang seharusnya dipakai ibadah justru ikan datang, pada hari Jum’at jam 11.50 datang pelanggan ke toko. Pada saat-saat jam da’wah datang orang menyibukkan mereka dengan berbagai cara. Tapi kalau mereka bisa melewatinya dengan azam yang kuat, akan seperti kapal pemecah es. Bila diam salju itu tak akan me-nyingkir, tetapi ketika kapal itu maju, sang salju membiarkannya berlalu. Kita harus menerobos segala hal yang pahit seperti anak kecil yang belajar puasa, mau minum tahan dulu sampai maghrib. Kelezatan, kesenangan dan kepuasan yang tiada tara, karena sudah berhasil melewati ujian dan cobaan sepanjang hari.

Iman dan Pengendalian Kesadaran Ma’iyatullah

Aqidah kita mengajarkan, tak satupun terjadi di langit dan di bumi tanpa kehendak ALLAH. ALLAH berkuasa menahan keinginan datangnya tamu-tamu yang akan menghalangi kewajiban da’wah. Apa mereka fikir orang-orang itu bergerak sendiri dan ALLAH lemah untuk mencegah mereka dan mengalihkan mereka ke waktu lain yang tidak menghalangi aktifitas utama dalam da’wah? Tanyakan kepada pakarnya, aqidah macam apa yang dianut seseorang yang tidak meyakini ALLAH menguasai segalanya? Mengapa mereka yang melalaikan tugas da’wahnya tidak berfikir perasaan sang isteri yang keberatan ditinggalkan beberapa saat, juga sebenarnya batu ujian yang dikirim ALLAH, apakah ia akan mengutamakan tugas da’wahnya atau keluarganya yang sudah punya alokasi waktu ? Yang ia beri mereka makanan dari kekayaan ALLAH ?

Karena itu mari melihat dimana titik lemah kita. Yang lemah dalam berukhuwah, yang gerah dan segera ingin pergi meninggalkan kewajiban liqa’, syuro atau jaulah. Bila mereka bersabar melawan rasa gerah itu, pertarungan mungkin hanya satu dua kali, sesudah itu tinggal hari-hari kenikmatan yang luar biasa yang tak tergantikan. Bahkan orang-orang salih dimasa dahulu mengatakan "Seandainya para raja dan anak-anak raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam dzikir dan majlis ilmu, niscaya mereka akan merampasnya dan memerangi kita dengan pedang". Sayang hal ini tidak bisa dirampas, melainkan diikuti, dihayati dan diperjuangkan. Berda’wah adalah nikmat, berukhuwah adalah nikmat, saling menopang dan memecahkan problematika da’wah bersama ikhwah adalah nikmat, andai saja bisa dikhayalkan oleh mereka menelantarkan modal usia yang ALLAH berikan dalam kemilau dunia yang menipu dan impian yang tak kunjung putus.

Ayat ini mengajarkan kita, ujian datang di titik lemah. Siapa yang lemah di bidang lawan jenis, seks dan segala yang sensual tidak diuji di bidang keuangan, kecuali ia juga lemah disitu. Yang lemah dibidang keuangan, jangan berani-berani memegang amanah keuangan kalau kamu lemah di uang hati-hati dengan uang. Yang lemah dalam gengsi, hobi popularitas, riya’ mungkin– dimasa ujian – akan menemukan orang yang terkesan tidak menghormatinya. Yang lidahnya tajam dan berbisa mungkin diuji dengan jebakan-jebakan berkomentar sebelum tabayun.Yang lemah dalam kejujuran mungkin selalu terjebak perkara yang membuat dia hanya ‘selamat’ dengan berdusta lagi. Dan itu arti pembesaran bencana.

Kalau saja Abdullah bin Ubay bin Salul, nominator pemimpin Madinah (d/h Yatsrib) ikhlas menerima Islam sepenuh hati dan realistis bahwa dia tidak sekaliber Rasulullah SAW, niscaya tidak semalang itu nasibnya. Bukankah tokoh-tokoh Madinah makin tinggi dan terhormat, dunia dan akhirat dengan meletakkan diri mereka dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW ? Ternyata banyak orang yang bukan hanya bakhil dengan harta yang ALLAH berikan, tetapi juga bakhil dengan ilmu, waktu, gagasan dan kesehatan yang seluruhnya akan menjadi beban tanggungjawab dan penyesalan.

Seni Membuat Alasan

Perlu kehati-hatian – sesudah syukur – karena kita hidup di masyarakat Da’wah dengan tingkat husnuzzhan yang sangat tinggi. Mereka yang cerdas tidak akan membodohi diri mereka sendiri dengan percaya kepada sangkaan baik orang kepada dirinya, sementara sang diri sangat faham bahwa ia tak berhak atas kemuliaan itu. Gemetar tubuh Abu Bakar RA bila disanjung. "Ya ALLAH, jadikan daku lebih baik dari yang mereka sangka, jangan hukum daku lantaran ucapan mereka dan ampuni daku karena ketidaktahuan mereka", demikian ujarnya lirih. Dimana posisi kita dari kebajikan Abu Bakr Shiddiq RA ? "Alangkah bodoh kamu, percaya kepada sangka baik orang kepadamu, padahal engkau tahu betapa diri jauh dari kebaikan itu", demikian kecaman Syaikh Harits Almuhasibi dan Ibnu Athai'Llah.

Diantara nikmat ALLAH ialah sitr (penutup) yang ALLAH berikan para hamba-Nya, sehingga aibnya tak dilihat orang. Namun pelamun selalu mengkhayal tanpa mau merubah diri. Demikian mereka yang memanfaatkan lapang hati komunitas da’wah tumbuh dan menjadi tua sebagai seniman maaf, "Afwan ya Akhi".

Tetapi ALLAH-lah Yang Memberi Mereka Karunia Besar

Kelengkapan Amal Jama’i tempat kita ‘menyumbangkan’ karya kecil kita, memberikan arti bagi eksistensi ini. Kebersamaan ini telah melahirkan kebesaran bersama. Jangan kecilkan makna kesertaan amal jama’i kita, tanpa harus mengklaim telah berjasa kepada Islam dan da’wah. "Mereka membangkit-bangkitkan (jasa) keislaman mereka kepadamu. Katakan : ‘Janganlah bangkit-bangkitkan keislamanmu (sebagai sumbangan bagi kekuatan Islam, (sebaliknya hayatilah) bahwa ALLAH telah memberi kamu karunia besar dengan membimbing kamu ke arah Iman, jika kamu memang jujur" (Qs. 49;17).

ALLAH telah menggiring kita kepada keimanan dan da’wah. Ini adalah karunia besar. Sebaliknya, mereka yang merasa telah berjasa, lalu – karena ketidakpuasan yang lahir dari konsekwensi bergaul dengan manusia yang tidak maksum dan sempurna – menunggu musibah dan kegagalan, untuk kemudian mengatakan : "Nah, rasain !" Sepantasnya bayangkan, bagaimana rasanya bila saya tidak bersama kafilah kebahagiaan ini?.

Saling mendo’akan sesama ikhwah telah menjadi ciri kemuliaan pribadi mereka, terlebih doa dari jauh. Selain ikhlas dan cinta tak nampak motivasi lain bagi saudara yang berdoa itu. ALLAH akan mengabulkannya dan malaikat akan mengamininya, seraya berkata : "Untukmu pun hak seperti itu", seperti pesan Rasulullah SAW. Cukuplah kemuliaan ukhuwah dan jamaah bahwa para nabi dan syuhada iri kepada mereka yang saling mencintai, bukan didasari hubungan kekerabatan, semata-mata iman dan cinta fi'Llah.

Ya ALLAH, kami memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan cinta kepada segala yang akan mendekatkan kami kepada cinta-Mu.

06/11/09

Berdakwah dengan hati.....

komunikasi efetifdakwatuna.com - “Maka disebabkan rahmat Allah atasmu, kamu berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkan mereka dan mohonkanlah ampun bagi mereka…”(QS.:3:159)

Saudaraku, Sejarah telah memaparkan pancaran pesona akhlaq Rasulullah dalam perjuangan dakwah beliau sebagai suri teladan bagi kita (QS.:33:21). Kemudian Allah SWT menguatkan dengan firman-Nya “wa innaka la’alaa khuluqin ‘azhiim. Dan sesungguhnya engkau memiliki akhlak yang mulia.”(QS.:68:4). Tentunya ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Rumusan nyata dan gamblang tentang model manusia terbaik. Maka siapa yang ingin berhasil dalam mengemban tugas dakwah sebagaimana Rasul, hendaklah mengikuti jejak langkah Rasulullah dan menerapkan akhlaq Rasulullah dalam segenap aktivitas kehidupannya.

Dulu sering kita jumpai keluhan-keluhan dan kekecewaan terhadap penanganan dakwah di kalangan para mutarobbi –binaan atau murid ngaji atau anggota tarbiyah-. Fenomena berjatuhannya para aktivis dakwah, ditambah lagi dengan ketidaksukaan mereka terhadap pola dakwah ternyata – menurut mereka – disebabkan karena seringnya mereka menerima perlakuan yang tidak bijaksana.

Jawaban sederhana dari permasalahan di atas boleh jadi karena ketidak utuhan kita dalam meneladani Rasul atau bahkan mungkin karena kita belum mampu menanamkan akhlaq Rasul pada diri mereka. Akibatnya kita sering tidak sabar dan tidak bijaksana menyikapi mereka, sementara merekapun terlalu mudah tersinggung dan cengeng menyikapi teguran dan nasihat yang mereka anggap sebagai pengekang kebebasan. Komunikasi yang tidak sehat ini sebenarnya bisa diatasi dengan menyadari sepenuh hati akan begitu pentingnya penanaman dan penerapan akhlaq Rasulullah dalam berbagai pendekatan dakwah. Ditinjau dari segi juru dakwah, keinginan meluruskan, teguran, penugasan, sindiran dan sebagainya sebenarnya dapat dikemas dengan akhlaq. Begitupun dari segi mad’u –peserta dakwah atau yang didakwahi- ; ketidakpuasan, ketersinggungan, perasaan terkekang dan kejenuhan juga dapat diredam dengan akhlaq. Akhlaq menuntun kepada kemampuan untuk saling menjaga perasaan, saling memaklumi kesalahan dan mengantarkan kepada penyelesaian terbaik.

Banyak murabbi –pembina atau yang mentarbiyah- yang dikecewakan dan ditinggalkan binaaanya, tapi dia mampu mengemas luka itu dengan empati dan terus mendoakan kebaikan bagi binaannya. Bahkan diiringi harapan suatu saat Allah swt. mengembalikan binaannya dalam aktvitas dakwah, walaupun mungkin bukan dalam penanganannya. “Mungkin dengan saya tidak cocok, tapi semoga dengan murabbi lain cocok”. Ada mutarabbi yang diperlakukan tidak bijaksana oleh murabbinya namun akhlaq menuntunnya untuk mengerti dan menyadari bahwa murabbinya bukan nabi, sehingga dia tidak dendam dan menjelek-jelekkan murabbinya, melainkan tetap merasa bahwa murabbi dengan segala kekurangannya telah berjasa banyak padanya. Dia tidak membenci dakwah meskipun dia dikecewakan oleh seorang aktivis dakwah.

Di antara nilai-nilai akhlaq yang semuanya mesti kita tanamkan dalam diri kita masing-masing adalah dua nilai yang cukup relevan dengan kelancaran dakwah, yaitu kelembutan dan rendah hati.

Kelembutan adalah perpaduan hati, ucapan dan perbuatan dalam upaya menyayangi, menjaga perasaan, melunakkan dan memperbaiki orang lain. Kelembutan adalah kebersihan hati dan keindahan penyajian yang diwujudkan dalam komunikasi lisan maupun badan. Bukanlah kelembutan bila ucapannya lembut tapi isinya penuh dengan kata-kata kasar menyakitkan (nyelekit). Bukan pula kelembutan bila menyampaikan kebenaran tapi dengan caci maki dan bentakan.

Berwajah manis penuh senyum, memilih pemakaian kata yang benar dan pas (qaulan sadidan), memaafkan, memaklumi, penuh perhatian, penuh kasih sayang adalah tampilan kelembutan. Wajah sinis, penuh sindiran yang terkadang tanpa tabayyun, buruk sangka, ghibah, mendendam, emosional merupakan kebalikan dari sifat kelembutan.

Rendah hati merupakan perpaduan hati, ucapan dan perbuatan dalam upaya mendekatkan atau mengakrabkan, melunakkan keangkuhan, menumbuhkan kepercayaan, membawa keharmonisan dan mengikis kekakuan. Angkuh, sok pintar dan hebat, merasa paling berjasa, merasa levelnya lebih tinggi, minta dihormati, enggan menegur atau menyapa lebih dulu, tidak mau diperintah, sulit ditemui atau dimintai tolong dengan alasan birokratis, menganggap remeh, cuek dan antipati merupakan lawan dari rendah hati. Allah swt. berfirman dalam surah Asy Syu’araa ayat 215 “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang beriman yang mengikuti kamu.”

Bila Rasulullah saw. saja dengan berbagai pesona dan kelebihannya diperintah untuk tawadhu (dan Rasul telah menjalankan perintah itu), tentulah kita yang apa adanya ini harus lebih rendah hati. Rendah hati terhadap murabbi, rendah hati terhadap mutarabbi dan rendah hati terhadap seluruh orang-orang beriman menunjukkan penghormatan kita pada Rasul dan pada kebenaran Al-Qur’an. Sebaliknya, keangkuhan dan perasaan lebih dari orang lain menandakan masih jauhnya kita dari Al-Qur’an dan Hadist.

Saudaraku, Marilah kita lebih mengaplikasikan apa-apa yang sudah kita ketahui. Betapa pemahaman kita tentang pentingnya akhlak dalam mengantarkan pada kesuksesan dakwah mungkin sudah cukup mumpuni. Namun tinggal bagaimana kita terus meningkatkan penerapan nilai-nilai akhlaq itu dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya dalam mengemban tugas dakwah. Telah dan akan terus terbukti bahwa sambutan masyarakat terhadap dakwah adalah di antaranya karena pesona akhlaq kita, kelembutan kita, memaklumi, mengingatkan dan meluruskan mereka dan kerendahhatian kita untuk terus bersabar mendekati dan menemani hari-hari mereka dengan dakwah kita. Dalam konteks khusus pun demikian, betapa kelembutan dan kerendahhatian ternyata lebih melanggengkan atau mengawetkan binaan-binaan kita untuk terus berdakwah bersama kita.

Saudaraku, Hendaknya dari hari ke hari kita terus mengevaluasi diri, membenahi akhlaq kita dan memantaskan diri (sepantas-pantasnya) sebagai seorang juru dakwah. Memang kita manusia biasa yang penuh salah dan kekurangan, namun janganlah itu menjadi penghalang kita untuk bermujahadah diri menuju kepada kedewasaan sejati. Masa lalu yang kasar dan angkuh hendaklah segera pupus dari diri kita. Kita mulai membiasakan diri untuk lembut di tengah keluarga, di antara aktivis dakwah hingga ke masyarakat luas. Kita mesti melatih kerendahhatian di tengah murid-murid kita, dengan sesama aktivis, pada murabbi kita hingga ke seluruh masyarakat. Dan pada akhirnya nanti insya Allah kita dapatkan keberhasilan dakwah Rasulullah terulang kembali, lewat hati, ucapan dan perbuatan kita yang telah diwarnai nilai-nilai akhlaq.

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS 16:125). Allahu a’lam



25/10/09


DAKWAH KAMPUS DI ERA KOMPETENSI
oleh. Muhammad Triono

Dakwah kampus semakin menjadi suatu fenomena yang menarik untuk diperhatikan. Dengan segala hambatan dan rintangan tetap akrab dengan nuansa pergerakan mahasiswa muslim. Dauroh, halaqoh, mentoring, kajian, seminar sampai pada aksi-aksi keummatan. Kampus tidak lagi sekedar tempat tumbuhnya lokus intelektual semata. Ia pun semakin kental menjadi pusat pertumbuhan semangat dan aktivitas keislaman yang signifikan.

Insan akademis yang kompetitif
Memasuki dekade ketiga ini, dakwah kampus tidak cukup dengan stagnansi menjalani hari-hari dakwahnya yang itu-itu saja.
Zaman cepat berubah. Today we have to run faster to stay in the same place. Begitu kira-kira ungkapan yang pernah dilontarkan oleh Kotler untuk melukiskan betapa pentingnya menangkap dinamika dan mengantisipasinya dengan langkah yang tepat agar dapat hidup dalam era turbulensi ini. Dalam kesempatan yang lain David Held (Global Transformation, 200) menggambarkan bahwa globalisasi memiliki velocity (kecepatan), intencity (kedalaman), dan extencity (kekuasaan/daya jangkau) lebih dahsyat dari sebelumnya. Hal ini menjadi tantangan sekaligus ancaman yang harus dihadapi oleh dakwah kampus agar berbenah diri menghadapinya.

Dakwah kampus tidak boleh melupakan tujuan perguruan tinggi secara umum, bahkan ia merupakan representasi nyata dari tujuan perguruan tinggi. Tri Dharma perguruan tinggi harus mampu diterjemahkan oleh aktifis dakwah kampus (ADK) dalam tafsiran yang tepat. Mengaktualkannya dalam bentuk program-program yang dinamis dan kreatif. Seperti juga visi pendidikan nasional “menciptakan insan akademis yang cerdas dan kompetitif”. Maka ADK harus tampil dengan peran resminya sebagai mahasiswa. Menyongsong babak baru dalam format Dakwah Kampus Berbasis Kompetensi (DKBK).

Format DKBK dicetuskan secara resmi di Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus Nasional (FSLDKN) XIII di Samarinda 2005. Dakwah kampus harus menjawab tawazunitas yang belum tuntas. Amal dakwah yang seimbang antara dakwiyah, fanniyah, dan siyasiyah menjadi titik tekan. Ketiga pendekatan amal dakwah kampus ini bukan sesuatu yang terkotak atau satu amal lebih dipentingkan dari amal yang lainnya. Ketiganya merupakan kesatuan amal yang terintegrasi menjadi kekhasan dakwah kampus. Ketertinggalan salah satu fokus amal dakwah didalamnya merupakan sebuah kepincangan yang harus diperbaiki. Misalnya, selama ini amal dakwah fanniyah (keilmuan) seolah-olah di anaktirikan, dibandingkan amal dakwiyah apalagi amal siyasiyah.

Perubahan-perubahan struktural maupun kultural akibat proses transisi sosial politik indonesia. Karenanya diperlukan perubahan cara pandang terhadap diri dan lingkungan dalam menyikapinya. Patut dijadikan asumsi dalam menentukan format baru dakwah kampus kedepan adalah dinamika yang berkembang dikalangan ADK sendiri yaitu: Pertama, adanya kecenderungan untuk lulus cepat (rata-rata empat sampai setengah tahun), hal ini selain disebabkan karena semakin singkatnya masa putus studi juga diakibatkan semakin mahalnya biaya pendidikan. Implikasinya adalah waktu yang dibutuhkan untuk berorganisasi tidak lama. Kedua, Miskinnya tradisi intelektual dikalangan ADK dan mahasiswa secara umum. Hal itu tercermin dari sedikitnya dinamika intelektual yang berkembang dalam pers kampus. Kalaupun terbit semacam buletin, namun itu tidak lebih dari saduran buku-buku dan tidak mencerminkan pergulatan intelektual dan ideologi terhadap realitas sosial politik keummatan yang berkembang.

Berikut ini adalah tiga pokok pikiran tentang format baru dakwah kampus, pemikiran ini lahir dari perspektif peran kampus terkait dengan proyek rekonstruksi negara madani dengan mempertimbangkan asumsi pergesaran lingkungan strategis akibat transisi sosial serta beberapa realitas dikalangan ADK. Pertama, akselerasi kelulusan aktifis dakwah kampus yang kompetitif. Proyek rekonstruksi negara madani adalah proyek yang kompleks, karena waktu yang lama serta kebutuhan resources yang tidak sedikit. Dibutuhkan sebuah “lumbung SDM” yang mampu membentuk sebuah lapisan sosial yang terdiri dari da’iyah dengan kompetensi tinggi serta memiliki militansi untuk melakukan transformasi nilai-nilai rabbaniyah, baik secara struktural maupun kultural. Lapisan sosial itu memiliki dua fungsi yaitu: fungsi pertama, adalah sebagai basis yang mapan bagi proses mobilitas vertikal para ADK untuk masuk kedalam pusat-pusat pengambilan keputusan strategis, sebab pada kenyataannya tidaklah mungkin melakukan ishlahul hukumah seorang diri. Tidak mungkin seorang ADK menjadi tokoh publik, dan melakukan transformasi nilai-nilai rabbaniyah seorang diri. Dia membutuhkan dukungan dari berbagai kalangan dengan tingkat kompetensi yang tinggi.

Fungsi kedua, adalah sebagai basis bagi lahirnya kandidat-kandidat calon pemimpin ummat yang maju untuk mengikuti pemilihan pemimpin mulai dari tingkat daerah sampai tingkat nasional, mulai dari suksesi kepemimpinan formal maupun nonformal. Jangan sampai ummat ini selalu ditimpa krisis calon pemimpin, sebab pemimpin sama dengan hati pada diri manusia. Apabila ia baik, maka baiklah nasib ummat ini. Bila ia buruk, maka celakalah nasib ummat ini. Lapisan sosial itu sebagai kelas menengah muslim. Tanpa eksistensi lapisan sosial ini yang berkelanjutan, sulit membayangkan nasib dan proyek rekonstruksi negara madani. Dalam konteks inilah kita menempatkan dakwah kampus, bahwa ia harus segera melakukan akselerasi kelulusan aktifisnya. Aktifis dengan seluruh kelengkapan fikrah, aqidah, suluk dan manhaj. Memiliki kompetensi, dan bermental petarung, sebab posisi-posisi strategis di masyarakat tidak ada yang gratis.

Untuk setiap kelompok sosial dari kelas menengah muslim itu, harus ada pertumbuhan yang signifikan dari tahun ke tahun. Artinya, dakwah kampus harus memberikan iklim yang kondusif bagi lahirnya para calon pedagang, calon intelektual, calon birokrat dan calon profesional. Tidak boleh ada aktifis dakwah kampus, yang setelah lulus ‘luntang-luntang’ karena tidak mampu bersaing dilapangan kerhidupan. Tidak boleh ada mantan aktifis dakwah kampus yang jadi pecundang, dan hidup dari orang lain.

Kedua, dakwah kampus harus memiliki jaringan keorganisasian pasca kampus. Ada tiga jenis organisasi dalam negara, tempat dimana sektor-sektor kehidupan negara dikelola, yaitu organisasi publik (birokrasi), organisasi private (perusahaan), dan organisasi nirlaba (Ormas, LSM atau Asosiasi Profesi). Kelak para ADK akan terserap dan ditantang untuk berkiprah disana setelah lulus kuliah. Sebagai kader yang mengemban misi dakwah, ADK dituntut untuk mampu berkiprah dan mengarahkan ketiga organisasi itu merekonstruksi Indonesia menjadi negara Madani. Artinya, mereka harus memiliki pengaruh dan ‘magnet’ sehingga seluruh sektor kehidupan negara yang dikelola oleh ketiga organisasi itu dapat berjalan kearah nilai-nilai rabbaniyah. Agar dapat berpengaruh tentu dibutuhkan waktu. Butuh waktu untuk membuktikan integritas, kredibilitas dan kompetensi. Untuk itu, dakwah kampus harus membangun komunikasi dan jaringan dengan ketiga jenis organisasi tersebut. Agar para ADK memiliki gambaran dan dapat mempersiapkan diri menghadapi persaingan dimedan dakwah pasca kampus sedini mungkin.

Ketiga, dakwah kampus harus mampu menumbuhkan semangat kewirausahaan dan penguasaan teknologi.
Kemandirian ekonomi adalah salah satu ‘mata kuliah’ yang harus dilalui oleh Rasulullah saw pada masa-masa persiapan sebelum diangkat menjadi rasul. Beliau mulai mengenal aktifitas kewirausahaan semenjak dini, yaitu ketika berusia 12 tahun, saat ia mengikuti kafilah dagang yang dipimpin Abu Thalib ke negeri Syam. Menurut Al Buthy, ada dua ibroh yang paling menonjol dari ‘mata kuliah’ itu. Yang harus dicermati oleh kita bersama yaitu: Pertama, menjaga integritas dan kredibilitas gerakan.”…dakwahnya tidak akan dihargai orang manakala mereka menjadikan dakwah sebagai sumber rezekinya. Atau hidup dari pengharapan pemberian dan sedekah orang.” Tentunya kita menginginkan agar seruan dakwah ini selalu dihormati, disegani dan didengar oleh ummat, sehingga dapat mengarahkan proses transformasi sosial kearah nilai-nilai Rabbaniyah. Namun, ketika ummat tidak lagi menghargainya, maka niscaya ia gagal dalam mengarahkan ummat. Kedua, menjaga independensi gerakan. “…agar kita tidak berhutang budi kepada seorang pun, yang menghalanginya dari menyatakan kebenaran dihadapan investor budi ”.

Pengguliran perubahan menuju negara madani, tidaklah mudah, pasti ada kekuatan status-quo yang tidak menghendaki perubahan. Mereka ingin agar Indonesia tetap berkubang dalam nilai-nilai jahiliyah, biasanya mereka menggunakan uang untuk mempengaruhi dan mengambil alih gerakan dakwah. Kewirausahaan harus menjadi bagian integral dari aktifitas dakwah kampus. Ia tidak boleh menjadi anak tiri, sebagaimana nasib serupa yang dialami dakwah akademik. Kita harus belajar dari fenomena kebangkitan China, yang direpresentasikan dengan konsep China Raya atau Zhonghua. Bagaimana mereka bangkit dan menjadi key player pasca Perang Dingin. Di saat peradaban barat mengalami deklinasi serius, dan peradaban Islam belum menunjukan signifikansinya dibidang politik, ekonomi dan militer. Sebenarnya, aktor penting dibalik kebangkitan China adalah jaringan China perantauan. Sebuah jaringan RRC, namun memiliki kekayaan melampaui GNP negeri nenek moyang mereka sendiri. GNP China perantauan yang hidup di Asia mencapai 450 Milyar dollar AS. Mereka di Asia, sampai-sampai Sterling Seagrave menyebut mereka sebagai “Kekaisaran tanpa batas negara, pemerintahan atau bendera kebangsaan”.

Dalam era kompetensi ini, terjadilah sinergi yang beragam. Dibawah pengaruh politik setiap negara ia dibentuk. Politik negara yang dapat membangun sinergi positif antara ekonomi dan teknologi akan membuat negara-bangsa yang bersangkutan menjadi stabil dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, negara-negara yang kebijaksanaan politiknya gagal membangun sinergi positifnya tadi bahkan menimbulkan proses kontradiktif akan membahayakan stabilitas nasional. Ancaman disintegrasi bangsa mudah tampil dalam kehidupan negara tersebut. Meskipun kelak, tidak semua ADK menjadi wirausahawan, namun cita-cita dan nilai-nilai seorang wirausahawan harus terus terbawa selama hidupnya. Ini penting dilakukan, sebab untuk bisa survive didunia pergerakan membutuhkan jiwa dan semangat itu.

”....Hendaklah malu orang yang merasa sudah menjadi jundi Allah dengan segudang amanah dakwah yang diembannya, sementara segudang amanah itu justru menjadikannya jauh dari Rabbnya, pada saat yang sepantasnya dia semakin merasakan kedekatan dengan Ilahnya, ketenangan dan keberkahan dari-Nya serta kerinduan syahid di jalan-Nya....”. Wallahu A’lam Bishawab

09/10/09

AWAS BELUT DALAM DAKWAH.....


Bergerak dalam dakwah tak ubahnya seperti bertani. Diawali dengan kehati-hatian menyemai benih. Kemudian, dengan penuh was-was, menanamnya di areal sawah luas. Ada rasa khawatir kalau tunas-tunas muda termakan hama. Tapi kadang, kehadiran belut dan gabus bisa menggoyahkan penantian. Demi rezeki dadakan, padi muda terlantar.

Hidup dalam gerakan dakwah memang penuh tantangan. Seperti tak mau berhenti, ujian dan cobaan silih berganti menghadang. Kalau mau ditafsirkan, ujian mungkin bisa berukuran kolektif. Dan cobaan bersifat individual.

Disebut kolektif, karena cakupannya menyeluruh meliputi apa pun. Termasuk, lembaga yang menjadi payung dakwah. Bayangkan, jika sebuah lembaga yang begitu peduli dengan dakwah dicap sebagai sarang teroris. Mulailah cap buruk itu menyebar ke seluruh masyarakat. Ada yang prihatin, dan tak sedikit yang akhirnya mencibir.

Begitu pun dengan cobaan. Tanpa dakwah pun, setiap orang tak bisa luput dengan cobaan. Karena hakikat kehidupan adalah cobaan. Siapakah di antara kita yang akhirnya mampu mempersembahkan produk yang terbaik. Dan dakwah memberikan bobot tersendiri dari nilai sebuah cobaan. Apa pun bentuknya.

Lahir dan meninggal misalnya, merupakan pemandangan biasa buat masyarakat. Biasa karena setiap orang akan mengalami itu. Tapi, itu akan berbeda ketika sudut pandang menyertakan hitung-hitungan dakwah. Kelahiran bisa diartikan sebagai penambahan aset dakwah. Dan kematian berarti pengurangan pendukung dakwah. Penambahan dan pengurangan pendukung dakwah adalah bentuk lain dari anugerah dan masalah dalam dakwah.

Pendek kata, seorang aktivis dakwah tidak mungkin memisahkan antara masalah pribadi dengan masalah dakwah. Keduanya selalu berkait. Masalah mencari isteri, juga akan berdampak pada masalah dakwah. Begitu pun dengan urusan pekerjaan, lokasi tempat tinggal, dan sebagainya.

Di masa Rasulullah saw., ada seorang sahabat dari kaum Anshar yang menangkap pesatnya perkembangan Islam dengan kacamata yang keliru. Di satu sisi, ia memang bersyukur kepada Allah swt. Islam kian meluas menembus batas benua. Tapi, ketika menoleh ke diri dan keluarga, ia pun mulai terpengaruh untuk tidak lagi ikut dalam pentas perjuangan Islam. “Ah, cukuplah perjuangan saya sampai di sini. Sudah banyak kader-kader Islam yang lebih kredibel. Kini, saatnya memperbaiki ekonomi pribadi,” seperti itulah kira-kira ungkapan sang sahabat.

Saat itu juga, Allah swt. menegur. Turunlah ayat Alquran surah Albaqarah ayat 195: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat ihsanlah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan.” (diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan yang lainnya yang bersumber dari Abi Ayub Al-Anshari. Menurut Tirmidzi, hadits ini shahih)

Mungkin, secara manusiawi, niat baik sahabat Rasul itu bisa dimaklumi. Wajar kalau mereka mulai menatap kemapanan ekonomi diri dan keluarga setelah sekian tahun berkorban habis-habisan buat perjuangan dakwah. Wajar kalau seorang kader perintis mulai menghitung masa depan keluarga setelah tampak masa depan Islam kian gemilang. Mungkin, dalih-dalih itu bisa dianggap wajar.

Namun, Allah swt. justru menilai niat itu sebagai sesuatu yang berat. Salah. Bahkan, menjerumuskan diri kedalam jurang kebinasaan. Allah swt. tidak menginginkan hamba-hamba-Nya yang selama ini gemar investasi pahala yang begitu besar, tiba-tiba putus untuk urusan domestik. Karena, balasan dari Allah yang telah tersiapkan jauh lebih baik dari apa yang akan mereka usahakan di dunia ini.

Firman Allah swt. dalam surah Ali Imran ayat 14, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).”

Peristiwa itu kian mengingatkan generasi dakwah pasca sahabat Rasul bahwa sulit memisahkan antara kepentingan dakwah dengan urusan pribadi. Karena di situlah nilai lebih seorang aktivis dakwah. Ia telah menjual dirinya kepada Allah swt. Dan transaksi itu mencakup bukan saja urusan potensi diri, melainkan juga segala sumber daya yang melingkupinya. Termasuk, harta dan bisnis.

Begitulah firman Allah swt. dalam surah At-Taubah ayat 111. “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh….”

Suatu ketika, ada seorang pemilik pohon kurma yang pelit dengan tetangganya. Mayang pohon ini menjulur ke rumah sang tetangga yang fakir. Setiap kali akan memetik buah, sang pemilik selalu melalui halaman si fakir. Tapi, tak satu pun kurma yang diberikan. Bahkan, kurma yang sempat terpegang anak sang tetangga yang fakir pun ia rampas. Tinggallah sang fakir menahan rasa. Hingga akhirnya, ia mengadu ke Rasulullah saw.

Rasulullah menemui sang pemilik pohon. “Maukah kau berikan pohon kurmamu itu kepadaku. Dan ganjaran pemberian itu adalah surga,” ucap Rasul. “Hanya itu? Sayang sekali, pohon kurma itu teramat baik.” Dan, sang pemilik itu pun pergi.

Tawaran Rasul tetang pohon kurma itu pun sampai ke telinga seorang sahabat yang kaya. Ia menemui Rasul. “Apakah tawaran Anda tadi berlaku juga buatku?” tanya sang sahabat. Rasul pun mengiyakan. Serentak, ia mencari sang pemilik pohon. Dan terjadilah tawar-menawar. Sang pemilik pohon berujar, “Pohon kurma itu tak akan aku jual. Kecuali, ditukarkan dengan empat puluh pohon kurma.” Awalnya, sang sahabat agak keberatan. Tapi, akhirnya ia pun setuju. Kemudian, ia menyerahkan kepemilikan pohon itu kepada Rasulullah saw. Dan, Rasul menghadiahkannya kepada si keluarga fakir.

Peristiwa itu mendapat penghargaan tersendiri dari Allah swt. Dan, turunlah surah Al-Lail. Di antara surah itu berbunyi, “…Ada pun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga). Maka, Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan ada pun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala yang terbaik. Maka, kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan yang sukar)….” (QS. 92: 5-10)

Ujian dan anugerah akan silih berganti menghias jalan dakwah. Dan, pagar jalan itu adalah sabar dan istiqamah. Tinggal, bagaimana pilihan kita. Siapkah kita menanti panen padi dakwah yang telah kita tanam dengan waktu yang begitu lama. Atau, menjadi terpedaya dengan lambaian belut dan gabus yang menggiurkan. (sumber: http://fkdkunsika.wordpress.com)

06/10/09

FITRAH


Salah satu kegembiraan lain yang dirasakan oleh kaum beriman yang menjalankan ibadah shaum Ramadhan dengan iman dan penuh harap akan ridha Allah adalah suka cita Idul Fitri.

Merekalah yang layak mendapatkan ‘kemenangan’ setelah sebulan penuh berjuang melawan hawa nafsunya, meningkatkan amal ibadahnya, mentadabburi kitab sucinya, menghidupkan malam-malamnya dengan qiyamul lail. Rasa syukur inilah yang terpancar dari keceriaan Idul Fitri.

Tak heran jika Rasulullah menganjurkan kita untuk saling mengucapkan, “Taqabbalallahu minna wa minkum” ketika bersua sesama Muslim. Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari anda. Sebuah bentuk kerendahhatian yang ritmis. Pengharapan besar pada Dzat Yang Maha Rahim, agar Ia menerima amal dan ibadah kita yang tak seberapa.

Dari sekian banyak pengertian Idul Fitri yang muncul, dibahas para ulama dalam kitab-kitab mereka, semuanya bermuara pada satu tujuan; kembalinya sang hamba kepada kesucian (fitrah) karena adanya jaminan bahwa mereka yang berpuasa –selama Ramadhan– semata-mata karena Rabb-Nya, akan diampuni dosa-dosanya yang lampau.

Terampuninya dosa adalah salah satu harapan terbesar manusia. Karena sebagai makhluk yang kerap disebut sebagai tempat salah dan dosa, ‘bonus’ pembersihan dan pencucian diri setahun sekali itu tentu saja sangat berarti. Maka berbahagialah mereka yang dapat menggunakannya sebaik dan semampunya, dan merugilah mereka yang lalai dan lupa.

Kembali kepada ‘fitrah’ hanya dapat dilakukan dengan berlaku lurus dalam menjalankan tugas sebagai Muslim dan hamba, bukan dengan cara lain. Allah sendiri yang menegaskan, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu… (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS ar-Ruum: 30)

Kehidupan dunia telah membius sebagian besar manusia sehingga mereka lupa akan fitrahnya; bertauhid dan beriman kepada Allah SWT. “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunanan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi…” (QS al-A’raaf: 172).

Oleh sebab itu, kesempatan untuk ‘kembali’ kepada fitrah yang disediakan setahun sekali lewat gemblengan Ramadhan, sangat tidak layak disia-siakan. (sumber: www.sabili.co.id)