05/02/09

URGENSI TSIQOH

T S I Q O H

Oleh : Muhammad Triono

(Ketua Forum Dewan Pembina IAIN Raden Intan Lampung)

Tsiqah adalah sikap yang wajib dimiliki oleh para aktivis dakwah, setelah tsiqah kepada Allah dan pertolongan-Nya, mereka juga dituntut tsiqah pada qiyadah (pimpinan) dakwah apa makna tsiqah kepada pimpinan? Tsiqah adalah, “tentramnya hati seorang prajurit/jundi secara mendalam terhadap pemimpinnya dalam hal kapabilitas dan keikhlasan. Darinya lahirlah kecintaan, penghormatan dan ketaatan.


Muqaddimah

“Maka demi Tuhanmu, tidaklah mereka beriman hingga mereka menjadikan engkau sebagai pemberi kata putus antara mereka kemudian mereka tidak merasakan kesempatan untuk menerima apa yang engkau putuskan dan mereka berserah diri”, demikian Ustadz Hasan Al-Bana, pendiri dan pemimpin gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin yang berbasis di Mesir.

Para sahabatpun pernah diuji dalam masalah tsiqah ini. ”Ya Rasulullah bukankah engkau nabi Allah yang benar? bukan kita berada di atas kebenaran dan musuh kita di atas kebatilan? Bukankah bila kita terbunuh masuk surga dan bila mereka terbunuh masuk neraka?” Begitulah Umar bin Khattab mengekspresikan ketika ketidakpuasan dan kekecewaan hatinya atas satu keputusan Rasulullah saw. Umar menilai keputusan itu adalah kesalahan dan kelemahan kaum Muslimin. Keputusan yang dimaksud adalah penerimaan Rasulullah terhadap semua item yang diinginkan oleh orang Quraisy, yang kemudian disebut dengan Shulhul hudaibiyyah. Pertanyaan Umar bin Khattab yang bertubi-tubi dan bernada memojokkan kepada sang pemimpin dakwah itu hanya dijawab oleh Rasulullah dengan, “Benar”.

Umar meneruskan, ”lalu mengapa kita rela menerima kehinaan dalam memperjuangkan agama kita?” Rosulullah saw. menjawab, “ Aku adalah Rasulullah. Aku tidak akan durhaka kepada-Nya dan Dia pasti menolongku.” Umar tetap saja belum puas dengan jawaban itu, sebab bukan jawaban seperti itu yang diinginkannya. Ia ingin agar Rasulullah dan rombongan tetap melaksanakan thawaf di Mekkah betapun ia harus bertempur dengan orangt-orang kafir Quraisy. Umar pun menemui Abu Bakar dan mengatakan hal yang sama,. Jawaban Abu Bakar tidak berbeda dengan perkataan yang dikatakan Rasulullah saw.

Ketidakpuasan Umar dan para sahabat berbuntut panjang. Saat Rasulullah saw. menitahkan untuk menyembelih binatang hadyu (binatang kurban, red) dan mencukur rambut, semua orang berdiam, tidak ada yang mengikuti perintah tersebut. Dalam kebingungan Rasulullah atas sikap kaum muslimin, Ummu Salamah memberikan saran, “Keluarlah engkau menemui mereka dengan tidak perlu mengatakan apapun, lalu bercukur dan sembelihlah hadyu. ”Beliaupun mengikuti saran istrinya. Melihat apa yang dilakukan Rasulullah saw barulah satu persatu sahabat mengikuti apa yang dilakukannya. Itulah ujian tsiqah yang dialami para sahabat. Belakang terbukti bahwa apa yang mereka anggap keliru justru menjadi cikal bakal datangnya kemenangan dari Allah swt.

Para prajurit dakwah diwajibkan tsiqah pada qiyadahnya, sementara para qiyadah harus memenuhi standar kualifikasi untuk layak ditsiqah-i.

Memupuk Tsiqah

Allah swt. berfirman :”Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di Jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh (QS. 61:4).

Kekokohan dan ketangguhan barisan sebagaimana yang diinginkan Allah swt ditopang antara lain oleh tsiqah yang timbal balik di antara para prajurit/jundi dakwah dan antara prajurit dengan qiyadah dakwah. Di sinilah pentingnya setiap komponen dakwah melakukan pemupukkan tsiqah ini. Apa sajakah faktor pembangunan tsiqah itu?

1. Mengokohkah ikatan hati

Di antar penyebab hilangnya tsiqah adalah lemahnya ikatan hati. Dan ikatan hati adalah satu-satunya pemersatu yang hakiki antara manusia. Ikatan lainnya tidak terdaftar dalam kamus perjuangan Islam. Dan Allah mempersatukan antara hati manusia. Seandainya engkau menginfakkan seluruh apa yang ada di bumi niscaya engkau tidak akan mampu menyatukan mereka”. (Al-Anfal, 63).

Salah satu syarat penting untuk menjalin ikatan hati adalah dengan adanya insyirahush-shadr (kelapangan dada), setalah keimanan dan komitmen keislaman. Kelapangan dada menuntun kita untuk memiliki qaulan sadidan (perkataan yang tepat dan lurus) dan bukan perkataan yang mengumbar kekecewaan dan ketidakpuasan. Lebih-lebih perkataan yang memprovokasi orang lain untuk mendukung kekecewaan dirinya. Qaulan sadidan ini menjadi penopang penting terwujudnya ishlahul-‘amal (kerja yang baik dan produktif).

2. Tawadhu’

Rasa percaya diri memang penting. Dengannya seseorang jadi berani mengemukakan segala pendapat dan gagasan. Namun percaya diri yang berlebihan justru akan merasa sikap merasa selalu benar dan paling benar. Dan itu artinya dia sedang mempersiapkan dirinya menjadi ghurur (bangga diri) dan bahkan takabbur (congkak). Padahal sikap ini hanya dianggap “wajar” bila dimiliki iblis dan jika seorang aktivis dakwah telah dijangkiti penyakit ini, maka rasa tsiqah nya pada qiyadah pun akan ternodai.

Para pemimpin dakwah sekarang memang tidak ada yang sebaik Rasulullah saw. sebagaimana justru prajurit nya tidak ada yang sebaik sahabatnya. Namin, bukan berarti kita tidak bisa memuai kesuksesan dakwah. Kita bisa berkaca dan mengambil banyak pelajaran dari kasus Umar Bin Khattab.

Lihatlah bagaimana pada akhirnya Umar menanggalkan pemikiran pribadi dan menerima–meskipun dengan berat hati– keputusan Rasulullah dalam saw dalam kasus perjanjian hudaibiyah. Umar juga pernah menantang kebijakan khalifah Abu Bakkar untuk memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat. Saat itu, mayoritas sahabat mendukung pendapat Umar. Namun karena sang pemimpin,. Abu Bakar dengan kukuh dan konsisten tetap merencanakan perang melawan orang-orang yang menolak mengeluarkan zakat itu, hati Umar luluh dan dengan tegas ia mengatakan. “Demi Allah saya tidak melihat selain bahwa hati Abu Bakar telah mantap untuk berperang dan saya tahu bahwa itu adalah benar”.

Mengapa Umar mau melepaskan pendapat pribadinya dan tsiqah pada keputusan qiyadahnya? Kata kuncinya adalah thawadu’ (rendah hati). Dengan sikap tawadhu’ kita dapat bertoleransi atas segala kekurangan yang ada untuk bersama-sama saling menguatkan dan mengisi.

3. Menghidupkan ruh syura

Syura adalah salah satu pilar penting dalam dakwah. Syura harus disemangati bukan dengan hanya siap menyampaikan gagasan dan usulan. Namun yang tidak kalah pentingnya dari itu adalah siap untuk berbeda pendapat, bahkan siap bila pendapatnya ditolak. Kekacauan dalam dakwah dan jama’ah akan terjadi jika para jundi hanya punya satu sisi : semangat untuk menyampaikan gagasan.

Perhatikan firman Allah berikut ini: “Dan musyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Maka jika kamu telah berbulat tekad maka bertawakalah kepada Allah”.(Ali Imran, 159)

Ayat di atas berbicara tentang kewajiban bermusyarawah. Bahkan ayat itu memerintahkan Rasulullah saw melibatkan (sebagian) sahabat dalam memutuskan suatu perkara. Namun demikian, ayat itu menyebutkan fa idza’azamta, jika engkau (Rasul) telah berbulat tekad. Dan bukan fa idza’azamum, jika kalian (wahai para peserta musyarawah) telah berbulat tekad.

Ini menunjuki kita beberapa hal. Pertama, dalam sebuah syura (musyarawah) terbuka peluang untuk berbeda pendapat dan berakhir dengan kesepakatan untuk tidak sepakat. Dan karenanya, kedua, sang pemimpin diberi wewenang untuk menentukan pilihan pendapat dibayangkan jika pemimpin diwajibkan mentaati atau bahkan sekedar mengakomodasi segala gagasan dan hendak. Lalu di mana letaknya ketaatan?

4. Muhasabah

Muhasabah adalah keberanian mengkritik diri enggan melakukan kritik terhadad diri sendiri dan hanya pandai mengkritik kekurangan orang lain dan qiyadah. Padahal, mustahil mencari pemimpin dakwah yang sempurna.

Hasan Al-Bana ditanya, “jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang menyebabkan anda tidak lagi memimpin kami, siapa yang anda nasehatkan untuk kami angkat sebagai pemimpin kami?” Ia menjawab,”Wahai Ikhwan, angkatlah oleh kalian orang terlemah (sekalipun) di antara kalian. Kemudian dengarkan dan taatilah. Maka niscaya ia, dengan dukungan kalian itu, menjadi orang paling kuat di antara kalian”.

Khatimah

Jika saling percaya (tsiqah mutabadilah) tumbuh dalam sebuah organisasi atau jama’ah, sehingga ia menjadi kokoh dan kuat, maka segala macam ujian dan tantangan yang dihadapi adalah “ringan”. Akan tetapi bila saling tsiqah ini sirna dalam sebuah organisasi dakwah, jangankan menghadapi tantangan dari luar, permasalah internal saja belum tentu dapat di atasi. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar