11/02/09

Kedewasaan Dalam Da’wah Kampus
Membedah Fenomena Futur Di Kalangan ADK Dalam Perjalanan Da’wah Kampus)*
Oleh: Muhammad Triono**

Muqaddimah
Da’wah adalah tugas fitrah manusia yang diamanahkan oleh Allah swt agar manusia saling mengingatkan dalam kebaikan serta membawa mereka untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat serta membawa kemaslahatan bagi semua makhluk. “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl:125).

Akan tetapi dalam kenyataannya berda’wah itu tidaklah mudah. Adalah merupakan hal yang fitrah pula dan telah berlangsung sejan zaman Nabi Adam, bahwa menyeru manusia kepada kebaikan adalah sesuatu yang sangat sulit. “Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: “Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepadaNya).” (QS Asyura:13). Terkadang telah lama waktu yang dihabiskan, begitu besar biaya dan tenaga yang dikuras, akan tetapi hasil yang diharapkan cenderung tidak seimbang bahkan nihil sama sekali. sepert inipun tak lepas dari dunia kampus. Bahkan dengan ciri khas tersendiri, da’wah kampus memiliki fenomena da’wah yang berat. Betapa tidak, da’wah di kampus, berarti menganjurkan kebaikan di suatu lingkungan yang dianggap intelek. Menyampaikan nilai-nilai keislaman kepada suatu komunitas masyarakat yang sangat menjunjung tinggi aspek rasionalitas. Justru di sinilah letak kekhasan itu. Mungkin lebih mudah untuk menyampaikan da’wah kepada masyarakat yang memang belum tahu atau belum paham karena mereka lebih mudah menerima apa yang disampaikan, dibandingkan bila berda’wah kepada kalangan kampus (mahasiswa). Mengapa? Aspek logika yang cenderung diprioritaskan, menyebabkan mereka senantiasa mempertimbangakan sesuatu berdasarkan dimensi logika atau ekspektasi akal terhadap informasi yang diterima.

Hal ini lebih dipertegas lagi oleh kenyataan bahwa kampus adalah bagian yang terintegrasi dengan sistem sosial, dimana secara psikis dan psikologis, apapun yang terjadi di masyarakat akan mempengaruhi kehidupan kampus juga sebaliknya. Selama itu masih berlangsung dalam tataran positif dan kondusif, maka tidak akan membawa masalah, akan tetapi pada kenyataanya kampus lebib mudah terkontaminasi dengan dampak negatif sehingga menciptakan kompleksitas, dan ketidakpastian da’wah yang lebih tinggi serta menciptakan kondisi tarik menarik antara berbagai kepentingan, berbagai pemikiran, berbagai idealisme, dan lain-lain. Kondisi ini tentulah membutuhkan suatu manhaj atau manajemen da’wah yang khusus pula.

Di sisi lain, untuk menghadang keadaan ini dibutuhkan perangkat sumber daya manusia (brainware) yang handal. Tantangan da’wah yang semakin besar membutuhkan kreatifitas, kekuatan, dan yang terakhir namun sangat penting adalah kedewasaan. Ada saat dimana para aktifis da’wah kampus terlihat seperti 'singa' yang senantiasa aktif mengurusi dakwah di kampus. Saking aktifnya sehingga mereka tidak memberi peluang secuilpun melihat ada yang 'kurang' di kampus mereka. Namun ada saat dimana mereka terlihat down dalam bergerak. Bagi mereka yang sudah dibekali dengan bekal tazkiyatun nafs yang baik, maka hal itu tidak akan berlangsung lama karena dalam waktu yang relatif singkat mereka akan kembali 'pulih'. Hal ini biasanya terdapat pada diri aktifis yang dewasa dalam melihat kondisi. Sedangkan bagi mereka yang 'belum dewasa' maka akan membutuhkan waktu yang lama untuk 'pulih'. Tantangan da’wah di sekitar kita sangat besar baik yang datang dari internal para aktifis da’wah itu atau yang datangnya dari luar. Berbagai tantangan itu seolah datang menyerang kita dari segala arah tanpa menunggu kita siap atau tidak. Di sinilah titik awal kedewasaan. Seorang aktifis yang dewasa, adalah: Mampu berpikir secara jernih, Memanfaatkaan semua potensi yang dimiliki dan menyingkirkan semua halangan, Memotivasi diri.

Futur atau Mundur Dari Da’wah, Wajarkah?

Futur, sebuah istilah yang menggambarkan kondisi ruhiyah seseorang yang sedang menurun. Atau dengan istilah yang lebih sederhana, futur ialah "penurunan semangat beribadah." Ketika seseorang yang biasa bersemangat menamatkan Al-Qur'an satu juz dalam satu hari, kemudian menurun atau tiba-tiba kehilangan semangat membaca Al-Qur'an, maka itulah futur. Atau juga ketika seseorang yang jiwa sosialnya tinggi, perhatian dan peka terhadap kondisi saudara-saudaranya se-aqidah, suatu waktu ia merasa berat dan tidak mampu memperhatikan orang lain, kepekaannya menurun, egonya meningkat, dan bahkan berdiam diri ketika saudaranya sedang membutuhkan pertolongan. Atau fenomena lain dari futur adalah ketika orang yang senantiasa melakukan amar ma’ruf nahi munkar, tapi suatu waktu kemudian semangat amalnya menurun dan bahkan mungkin ketika kondisi seperti itu terus dibiarkan akhirnya ia sendiri melakukan penyimpangan-penyimpangan amal. Memang, futur itu memiliki tingkatan-tingkatan. Ada futur yang masih tergolong rendah dan ada futur yang sifatnya kronis. Futur yang terbilang rendah, biasanya tergambar dalam penurunan kualitas dan kuantitas ibadahnya saja. Artinya ia masih berada di rel yang benar, ia masih mengikuti gerbong Al-Qur'an dan as-Sunah. Meskipun, kadang ia tertatih-tatih di rel itu, dan bahkan teringgal di belakang.

Futur yang seperti ini, pada permulaannya memang tidak terlalu berbahaya, karena hal itu merupakan tabiat manusia, bahkan itulah mungkin yang dimaksud dengan al-imanu yazidu wa yanqusu, Iman itu kadang bertambah dan kadang berkurang. Fluktuatif keimanan merupakan hal yang wajar bagi setiap orang, karena tidak ada di dunia ini manusia yang selamanya benar, seperti halnya tidak ada yang selamanya salah. Akan tetapi, ketika kondisi seperti itu terus dibiarkan dalam rentang waktu yang cukup lama, maka tentu saja lambat laun ia akan merosot dan terus merosot. Kualitas keimanannya semakin lama akan semakin rendah dan lemah. Dan bahkan mungkin saja, ia akhirnya terperosok pada futur "skala tinggi." Bukan hanya penurunan kuantitas dan kualitas ibadahnya saja yang nampak pada dirinya, akan tetapi, lebih besar dari itu, ia tidak lagi berada pada rel ketaatan. Kefuturannya digambarkan dengan beralihnya taat menjadi maksiat, pahala dengan dosa. Na'udzubillah min dzalik. Memang, manusia tidak ada yang bisa lepas dari kesalahan. Setiap orang pasti ada yang pernah berbuat kesalahan dan dosa. Karena ia bukanlah malaikat yang senantiasa patuh dan taat kepada Allah swt. Hal ini, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya; "Setiap Bani Adam itu pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat." Akan tetapi, kalau kita cermati lagi hadits di atas, sebenarnya yang menjadi titik permasalahannya dan itu yang sering tidak kita perhatikan adalah ada atau tidaknya proses taubat yang dilakukan oleh orang yang telah berbuat kesalahan tersebut. Oleh karena itu, kesalahan dalam batasan tertentu bagi manusia merupakan sebuah kewajaran, akan tetapi terus menerus dan terlena dalam kesalahan tersebut merupakan ketidakwajaran. Hal ini pun secara jelas telah disebutkan oleh Allah swt dalam Al-Qur'an, Ia berfirman; "Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS 4:17). Taubat inilah yang menjadi standarnya. Oleh karena itu ketika dalam kesalahannya ia tidak segera bertaubat (kembali pada Allah), maka kesalahannya itu bukanlah sebuah kewajaran lagi. Allah berfirman, "Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang" Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih." (QS 4:18).

Berguguran dalam perjalanan da’wah adalah fenomena umum, berbahaya dan selalu terulang. Karena itu dibutuhkan pengamatan dan studi mendalam, obyektif dan sistematik, guna mengetahui sebab-sebab dan pengaruh-pengaruhnya. Juga mengungkapkan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Orang yang mencermati sejarah pergerakan Islam pada setiap negeri di seantero dunia Islam akan menemukan deretan nama yang sebagiannya telah mencapai derajat tertinggi dalam medan aktifitas dan tanggung jawab, namun tak lama kemudian menghilang dari kehidupan da’wah. Di antara mereka yang meninggalkan da’wah dan tidak meninggalkan Islam. Diantara mereka ada yang meninggalkan dakwah dan Islam sekaligus dan ada di antara mereka yang meninggalkan jamaah lalu mendirikan jamaah tersendiri, atau bergabung dengan jamaah lain, dan begitu seterusnya, fenomena berguguran dari jalan da’wah semakin banyak dan beragam.

Dalam banyak hal dan waktu, fenomena insilakh (melepaskan diri dari da’wah) dan tasaquth (berguguran dari jalan da’wah) ini menjadi faktor penunjang bagi tersebar dan meluasnya penyakit lain, yakni fenomena keragaman dalam amal Islami, dan pada gilirannya terjadi bentrokan (pertarungan) antar sesama aktifis dan da’i dalam kancah amal Islami. Perlu sekali untuk diingat bahwa fenomena berjatuhan ini banyak terjadi dan menimpa barisan terdepan, orang-orang yang berupaya mendirikan pergerakan, dan para pendahulu, walau penerusnya juga tak terkecualikan. Dan ini terjadi di dalam jamaah manapun. Fenomena berguguran ini telah dan akan selalu menorehkan keburukan pada kancah amal Islami, cukup saya kemukakan sebagiannya di sini:

1. Fenomena ini menyebabkan tersia-sianya potensi waktu dan pergerakan dalam lingkungan pergerakan dalam menangani hal-hal yang sedikit sekali memberi manfaat.

2. Menyebabkan tersebarnya berbagai fitnah, perpecahan, dan kehancuran dalam lingkungan pergerakan, hingga menjadi faktor penunjang menjauhnya orang-orang yang baru masuk Islam dan baru mengenal dakwah.

3. Menyebabkan terbongkarnya berbagai rahasia yang seharusnya tidak terungkap andaikata bukan karena tekanan fitnah dan terpuruknya lidah serta telinga dalam cengkraman setan.

4. Menyebabkan lemahnya pergerakan dan terangsangnya musuh untuk segera menyerang dan menghancurkannya.

5. Menyebabkan jauhnya manusia dari pergerakan, goncangnya kepercayaan dan pelecehan terhadapnya, hingga perannya menjadi mandul, bahkan kadang aktifitasnya menjadi terhenti secara total.

Bila sebagian orang memandang gugurnya sebagian orang yang berguguran itu sebagai fenomena sehat yang harus terjadi untuk memperbaharui sel-sel inti dan membebaskan diri dari hal-hal yang menghalangi pergerakan, memberatkan bahunya dan menjadi beban beratnya, maka hasilnya walau menurut penafsiran dan makna ini tidaklah benar secara mutlak, tetapi mirip sebuah banjir yang menghanyutkan segala yang berharga dan yang tidak berharga secara bersamaan

Berapa banyak pribadi-pribadi yang tak terhenti dari kehidupan da’wah kecuali setelah memancangkan tonggak-tonggaknya yang mendalam. Berapa banyak pula yang keluar dari da’wah lalu berbalik memusuhinya, bahkan bersekongkol dengan musuh-musuhnya untuk melawannya. Saya teringat salah seorang tokoh jama’ah yang keluar dari barisannya setelah berselisih faham dengannya, lalu ia marah dan murka, mengancam dan bersumpah akan menghancurkan bangunannya sedikit demi sedikit. Hanya sedikit dari mereka yang berguguran, meninggalkan da’wah dengan tenang tanpa menyemburkan debu di belakangnya (membuat kericuhan, pent.). Sementara kebanyakan dari mereka membuat-buat alasan untuk menutupi tanggungjawab mereka tentang perpecahan dan kejatuhan.

Sering berbagai realitas tersembunyi, pendapat tidak menentu dan hukum tercampur aduk, hingga tak dapat dibedakan mana yang berbuat zalim dan mana yang dizalimi, tak dapat dibedakan mana yang benar dan mana yang bersalah, mana yang berbuat baik dan mana yang berbuat jahat. Tinggal menunggu pengadilan Dzat yang tidak berbuat zalim sekecil dzarrah.“Dan Dialah hakim yang sebaik-baiknya.” (QS. Al A’raf:87). Sesungguhnya usaha ini seperti yang telah saya katakana membahas fenomena tersebut secara umum, menyangkut sebagian sebab dan latar belakangnya. Terkadang sebabnya muncul dari individu-individu, terkadang dari pergerakan dan terkadang dari situasi dan kondisi. Studi atas setiap kasus melalui tiga aspek tersebut secara bersamaan, dengan menghindari sikap berlebih-lebihan secara ekstrim dan menggunakan sikap obyektif agar dapat mengembalikan setiap persoalan pada proporsinya, yang pada gilirannya dapat membantu pengobatan secara tuntas. Kepada Allah kita memohon pertolongan dan ajaran-Nya adalah jalan yang lurus. Jangan khawatir! Dengan ataupun tanpa kita, dakwah akan terus berjalan.


Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu`min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Maidah:54).

Sebab-sebab Tasaquth (berguguran) dan Futur (lemah) Dalam Da’wah Pertama, Sebab-sebab yang bersumber dari pergerakan;

1. Lemahnya aspek tarbiyah

2. Kurang proporsional dalam menempatkan anggota

3. Tidak memfungsikan semua anggota dalam aktivitas

4. Tidak adanya control pada semua anggota

5. Kurang sigap dalam menyelesaikan persoalan

6. Konflik internal (fanatisme buta)

7. Pemimpin yang tidak berkwalitas. Sifat-sifat yang seharusnya dimiliki oleh pemimpin adalah: Mengenal dakwah, Mengenal diri sendiri, Perhatian yang utuh, Teladan yang baik, Pandangan yang tajam, Kemauan yang kuat, Fitrah yang mengundang simpati, Optimisme.

Kedua, Sebab-sebab yang bersumber dari individu;

1. Watak yang indisipliner

2. Takut mati dan miskin

3. Sikap ekstrem dan berlebihan

4. Sikap mempermudah dan menganggap enteng

5. Ghurur dan senang menampilkan diri

6. Kecemburuan terhadap orang lain

7. Fitnah senjata

Ketiga, Sebab-sebab yang bersumber dari Eksternal;

1. Tekanan tribulasi

2. Tekanan keluarga

3. Tekanan lingkungan-lingkungan

4. Tekanan gerakan-gerakan destruktif

5. Tekanan dari orang yang memiliki kedudukan

6. Harta, tahta, dan wanita.

Bagaimana Mengikis Futur?
Kembali pada permasalahan futur dan tasaquth, maka sebenarnya yang diperlukan oleh seorang muslim adalah komitmen dan keistiqamahan dalam setiap amal. Dan tentu saja semuanya harus dibarengi dengan bertahap dan tidak berlebihan (ghuluw). Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw bersabda,“Berlaku moderatlah dan beristiqamah, ketahuilah sesungguhnya tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat dengan amalnya. Mereka bertanya, “Dan juga kamu Ya…Rasulullah, Beliau bersabda,“Dan juga aku (tidak selamat juga) hanya saja Allah swt telah meliputiku dengan rahmat dan anugerah-Nya.” (H.R. Muslim). Oleh karena itu, ketika ia mengalami kefuturanpun, maka futurnya itu tidak keluar dari "rel yang benar", dan ia tidak melakukan sebuah penyimpangan amal. Dalam sebuah hadits pun disebutkan bahwa futur merupakan sebuah fenomena yang menggambarkan batasan juhud (kesungguhan beramal) seseorang, ada yang tetap berada dalam bi'ah imaniyyah, ada juga yang keluar dari rel dan berbuat penyimpangan. Dari Abdullah bin Amru, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Setiap amal memiliki puncaknya dan setiap puncak pasti mengalami kefuturan (keloyoan). Maka barangsiapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada sunnahku, maka ia beruntung dan barangsiapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada selain itu, maka berarti ia telah celaka.” (HR Imam Ahmad). Selain dari itu, perjuangan melawan futur harus dimulai dari hati. Karena hati merupakan pusat dari segalanya, sebagaimana dalam hadits, “Apabila ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya”. Kebeningan hati dan ketulusan iman serta keikhlasan berdoa merupakan senjata ampuh untuk mengikis futur dan mengembalikannya kepada ghirah dan hamasah beramal yang tinggi. Maka, di sinilah pentingnya kita senantiasa mengontrol kondisi ruhiyyahnya, menimbangnya dengan timbangan-timbangan amal keseharian, sehingga ia bisa segera menyadari apa yang sedang terjadi pada ruhiyyahnya. Faktor lain yang bias dilakukan untuk mengikis futur adalah dengan senantiasa beramal jama’i dalam setiap aktifitas da’wah, membudayakan saling silaturrahim dan tausiah mentausiahi dalam kesabaran dan kebaikan. Saya yakin, kefuturan dan tasaquth dalam da’wah ini yang biasanya dibarengi dengan saling su’udzon sesama aktifis da’wah serta munculnya Barisan Sakit Hati (BSH) di antara ikhwah adalah dikarenakan tidak dijalankannya rukun ukhuwah dengan baik, padahal jika saja rukun ukhuwah yang lima yakni; Ta’aruf (saling kenal), Tafahum (saling memahami), Ta’awun (saling menolong), Takaful (saling kerjasama), dan Tausiah (saling menasehati) bisa dijalankan dengan baik maka tidak akan ada kader-kader da’wah yang futur, sakit hati ataupun tasaquth. Wallahu a’lam

Sumber Bacaan:

· Fathi Yakan, Yang Berjatuhan di Jalan Da’wah, Al I’tshom, Jakarta, 2000.

· Cahyadi Takariawan, Yang Tegar di Jalan Da’wah.________.

· Musthafa Muhammad Thahan, Risalah Pergerakan Pemuda Islam, Visi Publishing, Jakarta, 2002.

· Arya Sandhiyudha, Renovasi Da’wah Kampus, KAF, Jakarta, 2006.

*Disampaikan dalam acara “Temu LDK se-Rajabasa” sesi bedah buku “Yang Berjatuhan Di Jalan Da’wah” karya Fathi Yakan, bertempat di gedung Rektorat Lt.7 Universitas Malahayati. Terselenggara atas kerjasama BP Puskom FSLDK Wilayah Rajabasa UKM Al Banna Polinela dengan UKM Rohima Universitas Malahayati Bandar Lampung. Rabu, 16 Juli 2008.

**Penulis adalah mantan Ketua Puskom FSLDK Daerah Lampung Periode 2005-2007, kini sedang studi S2 Magister Ilmu Pemerintahan pada FISIP Universitas Lampung. Meluangkan waktu dalam aktifitasnya sebagai dosen dan wiraswasta dengan menjadi Konsultan FSLDK dan FSMI LDK Daerah Lampung. HP. 0852 698 01278 E-mail: muhammadtriono@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar