25/10/09


DAKWAH KAMPUS DI ERA KOMPETENSI
oleh. Muhammad Triono

Dakwah kampus semakin menjadi suatu fenomena yang menarik untuk diperhatikan. Dengan segala hambatan dan rintangan tetap akrab dengan nuansa pergerakan mahasiswa muslim. Dauroh, halaqoh, mentoring, kajian, seminar sampai pada aksi-aksi keummatan. Kampus tidak lagi sekedar tempat tumbuhnya lokus intelektual semata. Ia pun semakin kental menjadi pusat pertumbuhan semangat dan aktivitas keislaman yang signifikan.

Insan akademis yang kompetitif
Memasuki dekade ketiga ini, dakwah kampus tidak cukup dengan stagnansi menjalani hari-hari dakwahnya yang itu-itu saja.
Zaman cepat berubah. Today we have to run faster to stay in the same place. Begitu kira-kira ungkapan yang pernah dilontarkan oleh Kotler untuk melukiskan betapa pentingnya menangkap dinamika dan mengantisipasinya dengan langkah yang tepat agar dapat hidup dalam era turbulensi ini. Dalam kesempatan yang lain David Held (Global Transformation, 200) menggambarkan bahwa globalisasi memiliki velocity (kecepatan), intencity (kedalaman), dan extencity (kekuasaan/daya jangkau) lebih dahsyat dari sebelumnya. Hal ini menjadi tantangan sekaligus ancaman yang harus dihadapi oleh dakwah kampus agar berbenah diri menghadapinya.

Dakwah kampus tidak boleh melupakan tujuan perguruan tinggi secara umum, bahkan ia merupakan representasi nyata dari tujuan perguruan tinggi. Tri Dharma perguruan tinggi harus mampu diterjemahkan oleh aktifis dakwah kampus (ADK) dalam tafsiran yang tepat. Mengaktualkannya dalam bentuk program-program yang dinamis dan kreatif. Seperti juga visi pendidikan nasional “menciptakan insan akademis yang cerdas dan kompetitif”. Maka ADK harus tampil dengan peran resminya sebagai mahasiswa. Menyongsong babak baru dalam format Dakwah Kampus Berbasis Kompetensi (DKBK).

Format DKBK dicetuskan secara resmi di Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus Nasional (FSLDKN) XIII di Samarinda 2005. Dakwah kampus harus menjawab tawazunitas yang belum tuntas. Amal dakwah yang seimbang antara dakwiyah, fanniyah, dan siyasiyah menjadi titik tekan. Ketiga pendekatan amal dakwah kampus ini bukan sesuatu yang terkotak atau satu amal lebih dipentingkan dari amal yang lainnya. Ketiganya merupakan kesatuan amal yang terintegrasi menjadi kekhasan dakwah kampus. Ketertinggalan salah satu fokus amal dakwah didalamnya merupakan sebuah kepincangan yang harus diperbaiki. Misalnya, selama ini amal dakwah fanniyah (keilmuan) seolah-olah di anaktirikan, dibandingkan amal dakwiyah apalagi amal siyasiyah.

Perubahan-perubahan struktural maupun kultural akibat proses transisi sosial politik indonesia. Karenanya diperlukan perubahan cara pandang terhadap diri dan lingkungan dalam menyikapinya. Patut dijadikan asumsi dalam menentukan format baru dakwah kampus kedepan adalah dinamika yang berkembang dikalangan ADK sendiri yaitu: Pertama, adanya kecenderungan untuk lulus cepat (rata-rata empat sampai setengah tahun), hal ini selain disebabkan karena semakin singkatnya masa putus studi juga diakibatkan semakin mahalnya biaya pendidikan. Implikasinya adalah waktu yang dibutuhkan untuk berorganisasi tidak lama. Kedua, Miskinnya tradisi intelektual dikalangan ADK dan mahasiswa secara umum. Hal itu tercermin dari sedikitnya dinamika intelektual yang berkembang dalam pers kampus. Kalaupun terbit semacam buletin, namun itu tidak lebih dari saduran buku-buku dan tidak mencerminkan pergulatan intelektual dan ideologi terhadap realitas sosial politik keummatan yang berkembang.

Berikut ini adalah tiga pokok pikiran tentang format baru dakwah kampus, pemikiran ini lahir dari perspektif peran kampus terkait dengan proyek rekonstruksi negara madani dengan mempertimbangkan asumsi pergesaran lingkungan strategis akibat transisi sosial serta beberapa realitas dikalangan ADK. Pertama, akselerasi kelulusan aktifis dakwah kampus yang kompetitif. Proyek rekonstruksi negara madani adalah proyek yang kompleks, karena waktu yang lama serta kebutuhan resources yang tidak sedikit. Dibutuhkan sebuah “lumbung SDM” yang mampu membentuk sebuah lapisan sosial yang terdiri dari da’iyah dengan kompetensi tinggi serta memiliki militansi untuk melakukan transformasi nilai-nilai rabbaniyah, baik secara struktural maupun kultural. Lapisan sosial itu memiliki dua fungsi yaitu: fungsi pertama, adalah sebagai basis yang mapan bagi proses mobilitas vertikal para ADK untuk masuk kedalam pusat-pusat pengambilan keputusan strategis, sebab pada kenyataannya tidaklah mungkin melakukan ishlahul hukumah seorang diri. Tidak mungkin seorang ADK menjadi tokoh publik, dan melakukan transformasi nilai-nilai rabbaniyah seorang diri. Dia membutuhkan dukungan dari berbagai kalangan dengan tingkat kompetensi yang tinggi.

Fungsi kedua, adalah sebagai basis bagi lahirnya kandidat-kandidat calon pemimpin ummat yang maju untuk mengikuti pemilihan pemimpin mulai dari tingkat daerah sampai tingkat nasional, mulai dari suksesi kepemimpinan formal maupun nonformal. Jangan sampai ummat ini selalu ditimpa krisis calon pemimpin, sebab pemimpin sama dengan hati pada diri manusia. Apabila ia baik, maka baiklah nasib ummat ini. Bila ia buruk, maka celakalah nasib ummat ini. Lapisan sosial itu sebagai kelas menengah muslim. Tanpa eksistensi lapisan sosial ini yang berkelanjutan, sulit membayangkan nasib dan proyek rekonstruksi negara madani. Dalam konteks inilah kita menempatkan dakwah kampus, bahwa ia harus segera melakukan akselerasi kelulusan aktifisnya. Aktifis dengan seluruh kelengkapan fikrah, aqidah, suluk dan manhaj. Memiliki kompetensi, dan bermental petarung, sebab posisi-posisi strategis di masyarakat tidak ada yang gratis.

Untuk setiap kelompok sosial dari kelas menengah muslim itu, harus ada pertumbuhan yang signifikan dari tahun ke tahun. Artinya, dakwah kampus harus memberikan iklim yang kondusif bagi lahirnya para calon pedagang, calon intelektual, calon birokrat dan calon profesional. Tidak boleh ada aktifis dakwah kampus, yang setelah lulus ‘luntang-luntang’ karena tidak mampu bersaing dilapangan kerhidupan. Tidak boleh ada mantan aktifis dakwah kampus yang jadi pecundang, dan hidup dari orang lain.

Kedua, dakwah kampus harus memiliki jaringan keorganisasian pasca kampus. Ada tiga jenis organisasi dalam negara, tempat dimana sektor-sektor kehidupan negara dikelola, yaitu organisasi publik (birokrasi), organisasi private (perusahaan), dan organisasi nirlaba (Ormas, LSM atau Asosiasi Profesi). Kelak para ADK akan terserap dan ditantang untuk berkiprah disana setelah lulus kuliah. Sebagai kader yang mengemban misi dakwah, ADK dituntut untuk mampu berkiprah dan mengarahkan ketiga organisasi itu merekonstruksi Indonesia menjadi negara Madani. Artinya, mereka harus memiliki pengaruh dan ‘magnet’ sehingga seluruh sektor kehidupan negara yang dikelola oleh ketiga organisasi itu dapat berjalan kearah nilai-nilai rabbaniyah. Agar dapat berpengaruh tentu dibutuhkan waktu. Butuh waktu untuk membuktikan integritas, kredibilitas dan kompetensi. Untuk itu, dakwah kampus harus membangun komunikasi dan jaringan dengan ketiga jenis organisasi tersebut. Agar para ADK memiliki gambaran dan dapat mempersiapkan diri menghadapi persaingan dimedan dakwah pasca kampus sedini mungkin.

Ketiga, dakwah kampus harus mampu menumbuhkan semangat kewirausahaan dan penguasaan teknologi.
Kemandirian ekonomi adalah salah satu ‘mata kuliah’ yang harus dilalui oleh Rasulullah saw pada masa-masa persiapan sebelum diangkat menjadi rasul. Beliau mulai mengenal aktifitas kewirausahaan semenjak dini, yaitu ketika berusia 12 tahun, saat ia mengikuti kafilah dagang yang dipimpin Abu Thalib ke negeri Syam. Menurut Al Buthy, ada dua ibroh yang paling menonjol dari ‘mata kuliah’ itu. Yang harus dicermati oleh kita bersama yaitu: Pertama, menjaga integritas dan kredibilitas gerakan.”…dakwahnya tidak akan dihargai orang manakala mereka menjadikan dakwah sebagai sumber rezekinya. Atau hidup dari pengharapan pemberian dan sedekah orang.” Tentunya kita menginginkan agar seruan dakwah ini selalu dihormati, disegani dan didengar oleh ummat, sehingga dapat mengarahkan proses transformasi sosial kearah nilai-nilai Rabbaniyah. Namun, ketika ummat tidak lagi menghargainya, maka niscaya ia gagal dalam mengarahkan ummat. Kedua, menjaga independensi gerakan. “…agar kita tidak berhutang budi kepada seorang pun, yang menghalanginya dari menyatakan kebenaran dihadapan investor budi ”.

Pengguliran perubahan menuju negara madani, tidaklah mudah, pasti ada kekuatan status-quo yang tidak menghendaki perubahan. Mereka ingin agar Indonesia tetap berkubang dalam nilai-nilai jahiliyah, biasanya mereka menggunakan uang untuk mempengaruhi dan mengambil alih gerakan dakwah. Kewirausahaan harus menjadi bagian integral dari aktifitas dakwah kampus. Ia tidak boleh menjadi anak tiri, sebagaimana nasib serupa yang dialami dakwah akademik. Kita harus belajar dari fenomena kebangkitan China, yang direpresentasikan dengan konsep China Raya atau Zhonghua. Bagaimana mereka bangkit dan menjadi key player pasca Perang Dingin. Di saat peradaban barat mengalami deklinasi serius, dan peradaban Islam belum menunjukan signifikansinya dibidang politik, ekonomi dan militer. Sebenarnya, aktor penting dibalik kebangkitan China adalah jaringan China perantauan. Sebuah jaringan RRC, namun memiliki kekayaan melampaui GNP negeri nenek moyang mereka sendiri. GNP China perantauan yang hidup di Asia mencapai 450 Milyar dollar AS. Mereka di Asia, sampai-sampai Sterling Seagrave menyebut mereka sebagai “Kekaisaran tanpa batas negara, pemerintahan atau bendera kebangsaan”.

Dalam era kompetensi ini, terjadilah sinergi yang beragam. Dibawah pengaruh politik setiap negara ia dibentuk. Politik negara yang dapat membangun sinergi positif antara ekonomi dan teknologi akan membuat negara-bangsa yang bersangkutan menjadi stabil dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, negara-negara yang kebijaksanaan politiknya gagal membangun sinergi positifnya tadi bahkan menimbulkan proses kontradiktif akan membahayakan stabilitas nasional. Ancaman disintegrasi bangsa mudah tampil dalam kehidupan negara tersebut. Meskipun kelak, tidak semua ADK menjadi wirausahawan, namun cita-cita dan nilai-nilai seorang wirausahawan harus terus terbawa selama hidupnya. Ini penting dilakukan, sebab untuk bisa survive didunia pergerakan membutuhkan jiwa dan semangat itu.

”....Hendaklah malu orang yang merasa sudah menjadi jundi Allah dengan segudang amanah dakwah yang diembannya, sementara segudang amanah itu justru menjadikannya jauh dari Rabbnya, pada saat yang sepantasnya dia semakin merasakan kedekatan dengan Ilahnya, ketenangan dan keberkahan dari-Nya serta kerinduan syahid di jalan-Nya....”. Wallahu A’lam Bishawab

09/10/09

AWAS BELUT DALAM DAKWAH.....


Bergerak dalam dakwah tak ubahnya seperti bertani. Diawali dengan kehati-hatian menyemai benih. Kemudian, dengan penuh was-was, menanamnya di areal sawah luas. Ada rasa khawatir kalau tunas-tunas muda termakan hama. Tapi kadang, kehadiran belut dan gabus bisa menggoyahkan penantian. Demi rezeki dadakan, padi muda terlantar.

Hidup dalam gerakan dakwah memang penuh tantangan. Seperti tak mau berhenti, ujian dan cobaan silih berganti menghadang. Kalau mau ditafsirkan, ujian mungkin bisa berukuran kolektif. Dan cobaan bersifat individual.

Disebut kolektif, karena cakupannya menyeluruh meliputi apa pun. Termasuk, lembaga yang menjadi payung dakwah. Bayangkan, jika sebuah lembaga yang begitu peduli dengan dakwah dicap sebagai sarang teroris. Mulailah cap buruk itu menyebar ke seluruh masyarakat. Ada yang prihatin, dan tak sedikit yang akhirnya mencibir.

Begitu pun dengan cobaan. Tanpa dakwah pun, setiap orang tak bisa luput dengan cobaan. Karena hakikat kehidupan adalah cobaan. Siapakah di antara kita yang akhirnya mampu mempersembahkan produk yang terbaik. Dan dakwah memberikan bobot tersendiri dari nilai sebuah cobaan. Apa pun bentuknya.

Lahir dan meninggal misalnya, merupakan pemandangan biasa buat masyarakat. Biasa karena setiap orang akan mengalami itu. Tapi, itu akan berbeda ketika sudut pandang menyertakan hitung-hitungan dakwah. Kelahiran bisa diartikan sebagai penambahan aset dakwah. Dan kematian berarti pengurangan pendukung dakwah. Penambahan dan pengurangan pendukung dakwah adalah bentuk lain dari anugerah dan masalah dalam dakwah.

Pendek kata, seorang aktivis dakwah tidak mungkin memisahkan antara masalah pribadi dengan masalah dakwah. Keduanya selalu berkait. Masalah mencari isteri, juga akan berdampak pada masalah dakwah. Begitu pun dengan urusan pekerjaan, lokasi tempat tinggal, dan sebagainya.

Di masa Rasulullah saw., ada seorang sahabat dari kaum Anshar yang menangkap pesatnya perkembangan Islam dengan kacamata yang keliru. Di satu sisi, ia memang bersyukur kepada Allah swt. Islam kian meluas menembus batas benua. Tapi, ketika menoleh ke diri dan keluarga, ia pun mulai terpengaruh untuk tidak lagi ikut dalam pentas perjuangan Islam. “Ah, cukuplah perjuangan saya sampai di sini. Sudah banyak kader-kader Islam yang lebih kredibel. Kini, saatnya memperbaiki ekonomi pribadi,” seperti itulah kira-kira ungkapan sang sahabat.

Saat itu juga, Allah swt. menegur. Turunlah ayat Alquran surah Albaqarah ayat 195: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat ihsanlah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan.” (diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan yang lainnya yang bersumber dari Abi Ayub Al-Anshari. Menurut Tirmidzi, hadits ini shahih)

Mungkin, secara manusiawi, niat baik sahabat Rasul itu bisa dimaklumi. Wajar kalau mereka mulai menatap kemapanan ekonomi diri dan keluarga setelah sekian tahun berkorban habis-habisan buat perjuangan dakwah. Wajar kalau seorang kader perintis mulai menghitung masa depan keluarga setelah tampak masa depan Islam kian gemilang. Mungkin, dalih-dalih itu bisa dianggap wajar.

Namun, Allah swt. justru menilai niat itu sebagai sesuatu yang berat. Salah. Bahkan, menjerumuskan diri kedalam jurang kebinasaan. Allah swt. tidak menginginkan hamba-hamba-Nya yang selama ini gemar investasi pahala yang begitu besar, tiba-tiba putus untuk urusan domestik. Karena, balasan dari Allah yang telah tersiapkan jauh lebih baik dari apa yang akan mereka usahakan di dunia ini.

Firman Allah swt. dalam surah Ali Imran ayat 14, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).”

Peristiwa itu kian mengingatkan generasi dakwah pasca sahabat Rasul bahwa sulit memisahkan antara kepentingan dakwah dengan urusan pribadi. Karena di situlah nilai lebih seorang aktivis dakwah. Ia telah menjual dirinya kepada Allah swt. Dan transaksi itu mencakup bukan saja urusan potensi diri, melainkan juga segala sumber daya yang melingkupinya. Termasuk, harta dan bisnis.

Begitulah firman Allah swt. dalam surah At-Taubah ayat 111. “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh….”

Suatu ketika, ada seorang pemilik pohon kurma yang pelit dengan tetangganya. Mayang pohon ini menjulur ke rumah sang tetangga yang fakir. Setiap kali akan memetik buah, sang pemilik selalu melalui halaman si fakir. Tapi, tak satu pun kurma yang diberikan. Bahkan, kurma yang sempat terpegang anak sang tetangga yang fakir pun ia rampas. Tinggallah sang fakir menahan rasa. Hingga akhirnya, ia mengadu ke Rasulullah saw.

Rasulullah menemui sang pemilik pohon. “Maukah kau berikan pohon kurmamu itu kepadaku. Dan ganjaran pemberian itu adalah surga,” ucap Rasul. “Hanya itu? Sayang sekali, pohon kurma itu teramat baik.” Dan, sang pemilik itu pun pergi.

Tawaran Rasul tetang pohon kurma itu pun sampai ke telinga seorang sahabat yang kaya. Ia menemui Rasul. “Apakah tawaran Anda tadi berlaku juga buatku?” tanya sang sahabat. Rasul pun mengiyakan. Serentak, ia mencari sang pemilik pohon. Dan terjadilah tawar-menawar. Sang pemilik pohon berujar, “Pohon kurma itu tak akan aku jual. Kecuali, ditukarkan dengan empat puluh pohon kurma.” Awalnya, sang sahabat agak keberatan. Tapi, akhirnya ia pun setuju. Kemudian, ia menyerahkan kepemilikan pohon itu kepada Rasulullah saw. Dan, Rasul menghadiahkannya kepada si keluarga fakir.

Peristiwa itu mendapat penghargaan tersendiri dari Allah swt. Dan, turunlah surah Al-Lail. Di antara surah itu berbunyi, “…Ada pun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga). Maka, Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan ada pun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala yang terbaik. Maka, kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan yang sukar)….” (QS. 92: 5-10)

Ujian dan anugerah akan silih berganti menghias jalan dakwah. Dan, pagar jalan itu adalah sabar dan istiqamah. Tinggal, bagaimana pilihan kita. Siapkah kita menanti panen padi dakwah yang telah kita tanam dengan waktu yang begitu lama. Atau, menjadi terpedaya dengan lambaian belut dan gabus yang menggiurkan. (sumber: http://fkdkunsika.wordpress.com)

06/10/09

FITRAH


Salah satu kegembiraan lain yang dirasakan oleh kaum beriman yang menjalankan ibadah shaum Ramadhan dengan iman dan penuh harap akan ridha Allah adalah suka cita Idul Fitri.

Merekalah yang layak mendapatkan ‘kemenangan’ setelah sebulan penuh berjuang melawan hawa nafsunya, meningkatkan amal ibadahnya, mentadabburi kitab sucinya, menghidupkan malam-malamnya dengan qiyamul lail. Rasa syukur inilah yang terpancar dari keceriaan Idul Fitri.

Tak heran jika Rasulullah menganjurkan kita untuk saling mengucapkan, “Taqabbalallahu minna wa minkum” ketika bersua sesama Muslim. Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari anda. Sebuah bentuk kerendahhatian yang ritmis. Pengharapan besar pada Dzat Yang Maha Rahim, agar Ia menerima amal dan ibadah kita yang tak seberapa.

Dari sekian banyak pengertian Idul Fitri yang muncul, dibahas para ulama dalam kitab-kitab mereka, semuanya bermuara pada satu tujuan; kembalinya sang hamba kepada kesucian (fitrah) karena adanya jaminan bahwa mereka yang berpuasa –selama Ramadhan– semata-mata karena Rabb-Nya, akan diampuni dosa-dosanya yang lampau.

Terampuninya dosa adalah salah satu harapan terbesar manusia. Karena sebagai makhluk yang kerap disebut sebagai tempat salah dan dosa, ‘bonus’ pembersihan dan pencucian diri setahun sekali itu tentu saja sangat berarti. Maka berbahagialah mereka yang dapat menggunakannya sebaik dan semampunya, dan merugilah mereka yang lalai dan lupa.

Kembali kepada ‘fitrah’ hanya dapat dilakukan dengan berlaku lurus dalam menjalankan tugas sebagai Muslim dan hamba, bukan dengan cara lain. Allah sendiri yang menegaskan, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu… (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS ar-Ruum: 30)

Kehidupan dunia telah membius sebagian besar manusia sehingga mereka lupa akan fitrahnya; bertauhid dan beriman kepada Allah SWT. “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunanan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi…” (QS al-A’raaf: 172).

Oleh sebab itu, kesempatan untuk ‘kembali’ kepada fitrah yang disediakan setahun sekali lewat gemblengan Ramadhan, sangat tidak layak disia-siakan. (sumber: www.sabili.co.id)