11/02/09

Kedewasaan Dalam Da’wah Kampus
Membedah Fenomena Futur Di Kalangan ADK Dalam Perjalanan Da’wah Kampus)*
Oleh: Muhammad Triono**

Muqaddimah
Da’wah adalah tugas fitrah manusia yang diamanahkan oleh Allah swt agar manusia saling mengingatkan dalam kebaikan serta membawa mereka untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat serta membawa kemaslahatan bagi semua makhluk. “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl:125).

Akan tetapi dalam kenyataannya berda’wah itu tidaklah mudah. Adalah merupakan hal yang fitrah pula dan telah berlangsung sejan zaman Nabi Adam, bahwa menyeru manusia kepada kebaikan adalah sesuatu yang sangat sulit. “Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: “Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepadaNya).” (QS Asyura:13). Terkadang telah lama waktu yang dihabiskan, begitu besar biaya dan tenaga yang dikuras, akan tetapi hasil yang diharapkan cenderung tidak seimbang bahkan nihil sama sekali. sepert inipun tak lepas dari dunia kampus. Bahkan dengan ciri khas tersendiri, da’wah kampus memiliki fenomena da’wah yang berat. Betapa tidak, da’wah di kampus, berarti menganjurkan kebaikan di suatu lingkungan yang dianggap intelek. Menyampaikan nilai-nilai keislaman kepada suatu komunitas masyarakat yang sangat menjunjung tinggi aspek rasionalitas. Justru di sinilah letak kekhasan itu. Mungkin lebih mudah untuk menyampaikan da’wah kepada masyarakat yang memang belum tahu atau belum paham karena mereka lebih mudah menerima apa yang disampaikan, dibandingkan bila berda’wah kepada kalangan kampus (mahasiswa). Mengapa? Aspek logika yang cenderung diprioritaskan, menyebabkan mereka senantiasa mempertimbangakan sesuatu berdasarkan dimensi logika atau ekspektasi akal terhadap informasi yang diterima.

Hal ini lebih dipertegas lagi oleh kenyataan bahwa kampus adalah bagian yang terintegrasi dengan sistem sosial, dimana secara psikis dan psikologis, apapun yang terjadi di masyarakat akan mempengaruhi kehidupan kampus juga sebaliknya. Selama itu masih berlangsung dalam tataran positif dan kondusif, maka tidak akan membawa masalah, akan tetapi pada kenyataanya kampus lebib mudah terkontaminasi dengan dampak negatif sehingga menciptakan kompleksitas, dan ketidakpastian da’wah yang lebih tinggi serta menciptakan kondisi tarik menarik antara berbagai kepentingan, berbagai pemikiran, berbagai idealisme, dan lain-lain. Kondisi ini tentulah membutuhkan suatu manhaj atau manajemen da’wah yang khusus pula.

Di sisi lain, untuk menghadang keadaan ini dibutuhkan perangkat sumber daya manusia (brainware) yang handal. Tantangan da’wah yang semakin besar membutuhkan kreatifitas, kekuatan, dan yang terakhir namun sangat penting adalah kedewasaan. Ada saat dimana para aktifis da’wah kampus terlihat seperti 'singa' yang senantiasa aktif mengurusi dakwah di kampus. Saking aktifnya sehingga mereka tidak memberi peluang secuilpun melihat ada yang 'kurang' di kampus mereka. Namun ada saat dimana mereka terlihat down dalam bergerak. Bagi mereka yang sudah dibekali dengan bekal tazkiyatun nafs yang baik, maka hal itu tidak akan berlangsung lama karena dalam waktu yang relatif singkat mereka akan kembali 'pulih'. Hal ini biasanya terdapat pada diri aktifis yang dewasa dalam melihat kondisi. Sedangkan bagi mereka yang 'belum dewasa' maka akan membutuhkan waktu yang lama untuk 'pulih'. Tantangan da’wah di sekitar kita sangat besar baik yang datang dari internal para aktifis da’wah itu atau yang datangnya dari luar. Berbagai tantangan itu seolah datang menyerang kita dari segala arah tanpa menunggu kita siap atau tidak. Di sinilah titik awal kedewasaan. Seorang aktifis yang dewasa, adalah: Mampu berpikir secara jernih, Memanfaatkaan semua potensi yang dimiliki dan menyingkirkan semua halangan, Memotivasi diri.

Futur atau Mundur Dari Da’wah, Wajarkah?

Futur, sebuah istilah yang menggambarkan kondisi ruhiyah seseorang yang sedang menurun. Atau dengan istilah yang lebih sederhana, futur ialah "penurunan semangat beribadah." Ketika seseorang yang biasa bersemangat menamatkan Al-Qur'an satu juz dalam satu hari, kemudian menurun atau tiba-tiba kehilangan semangat membaca Al-Qur'an, maka itulah futur. Atau juga ketika seseorang yang jiwa sosialnya tinggi, perhatian dan peka terhadap kondisi saudara-saudaranya se-aqidah, suatu waktu ia merasa berat dan tidak mampu memperhatikan orang lain, kepekaannya menurun, egonya meningkat, dan bahkan berdiam diri ketika saudaranya sedang membutuhkan pertolongan. Atau fenomena lain dari futur adalah ketika orang yang senantiasa melakukan amar ma’ruf nahi munkar, tapi suatu waktu kemudian semangat amalnya menurun dan bahkan mungkin ketika kondisi seperti itu terus dibiarkan akhirnya ia sendiri melakukan penyimpangan-penyimpangan amal. Memang, futur itu memiliki tingkatan-tingkatan. Ada futur yang masih tergolong rendah dan ada futur yang sifatnya kronis. Futur yang terbilang rendah, biasanya tergambar dalam penurunan kualitas dan kuantitas ibadahnya saja. Artinya ia masih berada di rel yang benar, ia masih mengikuti gerbong Al-Qur'an dan as-Sunah. Meskipun, kadang ia tertatih-tatih di rel itu, dan bahkan teringgal di belakang.

Futur yang seperti ini, pada permulaannya memang tidak terlalu berbahaya, karena hal itu merupakan tabiat manusia, bahkan itulah mungkin yang dimaksud dengan al-imanu yazidu wa yanqusu, Iman itu kadang bertambah dan kadang berkurang. Fluktuatif keimanan merupakan hal yang wajar bagi setiap orang, karena tidak ada di dunia ini manusia yang selamanya benar, seperti halnya tidak ada yang selamanya salah. Akan tetapi, ketika kondisi seperti itu terus dibiarkan dalam rentang waktu yang cukup lama, maka tentu saja lambat laun ia akan merosot dan terus merosot. Kualitas keimanannya semakin lama akan semakin rendah dan lemah. Dan bahkan mungkin saja, ia akhirnya terperosok pada futur "skala tinggi." Bukan hanya penurunan kuantitas dan kualitas ibadahnya saja yang nampak pada dirinya, akan tetapi, lebih besar dari itu, ia tidak lagi berada pada rel ketaatan. Kefuturannya digambarkan dengan beralihnya taat menjadi maksiat, pahala dengan dosa. Na'udzubillah min dzalik. Memang, manusia tidak ada yang bisa lepas dari kesalahan. Setiap orang pasti ada yang pernah berbuat kesalahan dan dosa. Karena ia bukanlah malaikat yang senantiasa patuh dan taat kepada Allah swt. Hal ini, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya; "Setiap Bani Adam itu pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat." Akan tetapi, kalau kita cermati lagi hadits di atas, sebenarnya yang menjadi titik permasalahannya dan itu yang sering tidak kita perhatikan adalah ada atau tidaknya proses taubat yang dilakukan oleh orang yang telah berbuat kesalahan tersebut. Oleh karena itu, kesalahan dalam batasan tertentu bagi manusia merupakan sebuah kewajaran, akan tetapi terus menerus dan terlena dalam kesalahan tersebut merupakan ketidakwajaran. Hal ini pun secara jelas telah disebutkan oleh Allah swt dalam Al-Qur'an, Ia berfirman; "Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS 4:17). Taubat inilah yang menjadi standarnya. Oleh karena itu ketika dalam kesalahannya ia tidak segera bertaubat (kembali pada Allah), maka kesalahannya itu bukanlah sebuah kewajaran lagi. Allah berfirman, "Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang" Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih." (QS 4:18).

Berguguran dalam perjalanan da’wah adalah fenomena umum, berbahaya dan selalu terulang. Karena itu dibutuhkan pengamatan dan studi mendalam, obyektif dan sistematik, guna mengetahui sebab-sebab dan pengaruh-pengaruhnya. Juga mengungkapkan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Orang yang mencermati sejarah pergerakan Islam pada setiap negeri di seantero dunia Islam akan menemukan deretan nama yang sebagiannya telah mencapai derajat tertinggi dalam medan aktifitas dan tanggung jawab, namun tak lama kemudian menghilang dari kehidupan da’wah. Di antara mereka yang meninggalkan da’wah dan tidak meninggalkan Islam. Diantara mereka ada yang meninggalkan dakwah dan Islam sekaligus dan ada di antara mereka yang meninggalkan jamaah lalu mendirikan jamaah tersendiri, atau bergabung dengan jamaah lain, dan begitu seterusnya, fenomena berguguran dari jalan da’wah semakin banyak dan beragam.

Dalam banyak hal dan waktu, fenomena insilakh (melepaskan diri dari da’wah) dan tasaquth (berguguran dari jalan da’wah) ini menjadi faktor penunjang bagi tersebar dan meluasnya penyakit lain, yakni fenomena keragaman dalam amal Islami, dan pada gilirannya terjadi bentrokan (pertarungan) antar sesama aktifis dan da’i dalam kancah amal Islami. Perlu sekali untuk diingat bahwa fenomena berjatuhan ini banyak terjadi dan menimpa barisan terdepan, orang-orang yang berupaya mendirikan pergerakan, dan para pendahulu, walau penerusnya juga tak terkecualikan. Dan ini terjadi di dalam jamaah manapun. Fenomena berguguran ini telah dan akan selalu menorehkan keburukan pada kancah amal Islami, cukup saya kemukakan sebagiannya di sini:

1. Fenomena ini menyebabkan tersia-sianya potensi waktu dan pergerakan dalam lingkungan pergerakan dalam menangani hal-hal yang sedikit sekali memberi manfaat.

2. Menyebabkan tersebarnya berbagai fitnah, perpecahan, dan kehancuran dalam lingkungan pergerakan, hingga menjadi faktor penunjang menjauhnya orang-orang yang baru masuk Islam dan baru mengenal dakwah.

3. Menyebabkan terbongkarnya berbagai rahasia yang seharusnya tidak terungkap andaikata bukan karena tekanan fitnah dan terpuruknya lidah serta telinga dalam cengkraman setan.

4. Menyebabkan lemahnya pergerakan dan terangsangnya musuh untuk segera menyerang dan menghancurkannya.

5. Menyebabkan jauhnya manusia dari pergerakan, goncangnya kepercayaan dan pelecehan terhadapnya, hingga perannya menjadi mandul, bahkan kadang aktifitasnya menjadi terhenti secara total.

Bila sebagian orang memandang gugurnya sebagian orang yang berguguran itu sebagai fenomena sehat yang harus terjadi untuk memperbaharui sel-sel inti dan membebaskan diri dari hal-hal yang menghalangi pergerakan, memberatkan bahunya dan menjadi beban beratnya, maka hasilnya walau menurut penafsiran dan makna ini tidaklah benar secara mutlak, tetapi mirip sebuah banjir yang menghanyutkan segala yang berharga dan yang tidak berharga secara bersamaan

Berapa banyak pribadi-pribadi yang tak terhenti dari kehidupan da’wah kecuali setelah memancangkan tonggak-tonggaknya yang mendalam. Berapa banyak pula yang keluar dari da’wah lalu berbalik memusuhinya, bahkan bersekongkol dengan musuh-musuhnya untuk melawannya. Saya teringat salah seorang tokoh jama’ah yang keluar dari barisannya setelah berselisih faham dengannya, lalu ia marah dan murka, mengancam dan bersumpah akan menghancurkan bangunannya sedikit demi sedikit. Hanya sedikit dari mereka yang berguguran, meninggalkan da’wah dengan tenang tanpa menyemburkan debu di belakangnya (membuat kericuhan, pent.). Sementara kebanyakan dari mereka membuat-buat alasan untuk menutupi tanggungjawab mereka tentang perpecahan dan kejatuhan.

Sering berbagai realitas tersembunyi, pendapat tidak menentu dan hukum tercampur aduk, hingga tak dapat dibedakan mana yang berbuat zalim dan mana yang dizalimi, tak dapat dibedakan mana yang benar dan mana yang bersalah, mana yang berbuat baik dan mana yang berbuat jahat. Tinggal menunggu pengadilan Dzat yang tidak berbuat zalim sekecil dzarrah.“Dan Dialah hakim yang sebaik-baiknya.” (QS. Al A’raf:87). Sesungguhnya usaha ini seperti yang telah saya katakana membahas fenomena tersebut secara umum, menyangkut sebagian sebab dan latar belakangnya. Terkadang sebabnya muncul dari individu-individu, terkadang dari pergerakan dan terkadang dari situasi dan kondisi. Studi atas setiap kasus melalui tiga aspek tersebut secara bersamaan, dengan menghindari sikap berlebih-lebihan secara ekstrim dan menggunakan sikap obyektif agar dapat mengembalikan setiap persoalan pada proporsinya, yang pada gilirannya dapat membantu pengobatan secara tuntas. Kepada Allah kita memohon pertolongan dan ajaran-Nya adalah jalan yang lurus. Jangan khawatir! Dengan ataupun tanpa kita, dakwah akan terus berjalan.


Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu`min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Maidah:54).

Sebab-sebab Tasaquth (berguguran) dan Futur (lemah) Dalam Da’wah Pertama, Sebab-sebab yang bersumber dari pergerakan;

1. Lemahnya aspek tarbiyah

2. Kurang proporsional dalam menempatkan anggota

3. Tidak memfungsikan semua anggota dalam aktivitas

4. Tidak adanya control pada semua anggota

5. Kurang sigap dalam menyelesaikan persoalan

6. Konflik internal (fanatisme buta)

7. Pemimpin yang tidak berkwalitas. Sifat-sifat yang seharusnya dimiliki oleh pemimpin adalah: Mengenal dakwah, Mengenal diri sendiri, Perhatian yang utuh, Teladan yang baik, Pandangan yang tajam, Kemauan yang kuat, Fitrah yang mengundang simpati, Optimisme.

Kedua, Sebab-sebab yang bersumber dari individu;

1. Watak yang indisipliner

2. Takut mati dan miskin

3. Sikap ekstrem dan berlebihan

4. Sikap mempermudah dan menganggap enteng

5. Ghurur dan senang menampilkan diri

6. Kecemburuan terhadap orang lain

7. Fitnah senjata

Ketiga, Sebab-sebab yang bersumber dari Eksternal;

1. Tekanan tribulasi

2. Tekanan keluarga

3. Tekanan lingkungan-lingkungan

4. Tekanan gerakan-gerakan destruktif

5. Tekanan dari orang yang memiliki kedudukan

6. Harta, tahta, dan wanita.

Bagaimana Mengikis Futur?
Kembali pada permasalahan futur dan tasaquth, maka sebenarnya yang diperlukan oleh seorang muslim adalah komitmen dan keistiqamahan dalam setiap amal. Dan tentu saja semuanya harus dibarengi dengan bertahap dan tidak berlebihan (ghuluw). Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw bersabda,“Berlaku moderatlah dan beristiqamah, ketahuilah sesungguhnya tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat dengan amalnya. Mereka bertanya, “Dan juga kamu Ya…Rasulullah, Beliau bersabda,“Dan juga aku (tidak selamat juga) hanya saja Allah swt telah meliputiku dengan rahmat dan anugerah-Nya.” (H.R. Muslim). Oleh karena itu, ketika ia mengalami kefuturanpun, maka futurnya itu tidak keluar dari "rel yang benar", dan ia tidak melakukan sebuah penyimpangan amal. Dalam sebuah hadits pun disebutkan bahwa futur merupakan sebuah fenomena yang menggambarkan batasan juhud (kesungguhan beramal) seseorang, ada yang tetap berada dalam bi'ah imaniyyah, ada juga yang keluar dari rel dan berbuat penyimpangan. Dari Abdullah bin Amru, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Setiap amal memiliki puncaknya dan setiap puncak pasti mengalami kefuturan (keloyoan). Maka barangsiapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada sunnahku, maka ia beruntung dan barangsiapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada selain itu, maka berarti ia telah celaka.” (HR Imam Ahmad). Selain dari itu, perjuangan melawan futur harus dimulai dari hati. Karena hati merupakan pusat dari segalanya, sebagaimana dalam hadits, “Apabila ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya”. Kebeningan hati dan ketulusan iman serta keikhlasan berdoa merupakan senjata ampuh untuk mengikis futur dan mengembalikannya kepada ghirah dan hamasah beramal yang tinggi. Maka, di sinilah pentingnya kita senantiasa mengontrol kondisi ruhiyyahnya, menimbangnya dengan timbangan-timbangan amal keseharian, sehingga ia bisa segera menyadari apa yang sedang terjadi pada ruhiyyahnya. Faktor lain yang bias dilakukan untuk mengikis futur adalah dengan senantiasa beramal jama’i dalam setiap aktifitas da’wah, membudayakan saling silaturrahim dan tausiah mentausiahi dalam kesabaran dan kebaikan. Saya yakin, kefuturan dan tasaquth dalam da’wah ini yang biasanya dibarengi dengan saling su’udzon sesama aktifis da’wah serta munculnya Barisan Sakit Hati (BSH) di antara ikhwah adalah dikarenakan tidak dijalankannya rukun ukhuwah dengan baik, padahal jika saja rukun ukhuwah yang lima yakni; Ta’aruf (saling kenal), Tafahum (saling memahami), Ta’awun (saling menolong), Takaful (saling kerjasama), dan Tausiah (saling menasehati) bisa dijalankan dengan baik maka tidak akan ada kader-kader da’wah yang futur, sakit hati ataupun tasaquth. Wallahu a’lam

Sumber Bacaan:

· Fathi Yakan, Yang Berjatuhan di Jalan Da’wah, Al I’tshom, Jakarta, 2000.

· Cahyadi Takariawan, Yang Tegar di Jalan Da’wah.________.

· Musthafa Muhammad Thahan, Risalah Pergerakan Pemuda Islam, Visi Publishing, Jakarta, 2002.

· Arya Sandhiyudha, Renovasi Da’wah Kampus, KAF, Jakarta, 2006.

*Disampaikan dalam acara “Temu LDK se-Rajabasa” sesi bedah buku “Yang Berjatuhan Di Jalan Da’wah” karya Fathi Yakan, bertempat di gedung Rektorat Lt.7 Universitas Malahayati. Terselenggara atas kerjasama BP Puskom FSLDK Wilayah Rajabasa UKM Al Banna Polinela dengan UKM Rohima Universitas Malahayati Bandar Lampung. Rabu, 16 Juli 2008.

**Penulis adalah mantan Ketua Puskom FSLDK Daerah Lampung Periode 2005-2007, kini sedang studi S2 Magister Ilmu Pemerintahan pada FISIP Universitas Lampung. Meluangkan waktu dalam aktifitasnya sebagai dosen dan wiraswasta dengan menjadi Konsultan FSLDK dan FSMI LDK Daerah Lampung. HP. 0852 698 01278 E-mail: muhammadtriono@yahoo.com

05/02/09

Apa Pantas Berharap Surga?

Apa Pantas Berharap Surga?

Publikasi: 22/11/2004 08:15 WIB

eramuslim - Sholat dhuha cuma dua rakaat, qiyamullail (tahajjud) juga hanya dua rakaat, itu pun sambil terkantuk-kantuk. Sholat lima waktu? Sudahlah jarang di masjid, milih ayatnya yang pendek-pendek saja agar lekas selesai. Tanpa doa, dan segala macam puji untuk Allah, terlipatlah sajadah yang belum lama tergelar itu. Lupa pula dengan sholat rawatib sebelum maupun sesudah shalat wajib. Satu lagi, semua di atas itu belum termasuk catatan: "Kalau tidak terlambat" atau "Asal nggak bangun kesiangan". Dengan sholat model begini, apa pantas mengaku ahli ibadah?

Padahal Rasulullah dan para sahabat senantiasa mengisi malam-malamnya dengan derai tangis memohon ampunan kepada Allah. Tak jarang kaki-kaki mereka bengkak oleh karena terlalu lama berdiri dalam khusyuknya. Kalimat-kalimat pujian dan pinta tersusun indah seraya berharap Allah Yang Maha Mendengar mau mendengarkan keluh mereka. Ketika adzan berkumandang, segera para sahabat meninggalkan semua aktivitas menuju sumber panggilan, kemudian waktu demi waktu mereka habiskan untuk bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh tetesan air mata.

Baca Qur'an sesempatnya, itu pun tanpa memahami arti dan maknanya, apalagi meresapi hikmah yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat yang mengalir dari lidah ini tak sedikit pun membuat dada ini bergetar, padahal tanda-tanda orang beriman itu adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah maka tergetarlah hatinya. Hanya satu dua lembar ayat yang sempat dibaca sehari, itu pun tidak rutin. Kadang lupa, kadang sibuk, kadang malas. Yang begini ngaku beriman?

Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah yang menahan nafas mereka untuk meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat Allah. Sesekali mereka terhenti, tak melanjutkan bacaannya ketika mencoba menggali makna terdalam dari sebaris kalimat Allah yang baru saja dibacanya. Tak jarang mereka hiasi mushaf di tangan mereka dengan tetes air mata. Setiap tetes yang akan menjadi saksi di hadapan Allah bahwa mereka jatuh karena lidah-lidah indah yang melafazkan ayat-ayat Allah dengan pemahaman dan pengamalan tertinggi.

Bersedekah jarang, begitu juga infak. Kalau pun ada, dipilih mata uang terkecil yang ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada receh. Berbuat baik terhadap sesama juga jarang, paling-paling kalau sedang ada kegiatan bakti sosial, yah hitung-hitung ikut meramaikan. Sudah lah jarang beramal, amal yang paling mudah pun masih pelit, senyum. Apa sih susahnya senyum? Kalau sudah seperti ini, apa pantas berharap Kebaikan dan Kasih Allah?

Rasulullah adalah manusia yang paling dirindui, senyum indahnya, tutur lembutnya, belai kasih dan perhatiannya, juga pembelaannya bukan semata milik Khadijah, Aisyah, dan istri-istri beliau yang lain. Juga bukan semata teruntuk Fatimah dan anak-anak Rasulullah lainnya. Ia senantiasa penuh kasih dan tulus terhadap semua yang dijumpainya, bahkan kepada musuhnya sekali pun. Ia juga mengajarkan para sahabat untuk berlomba beramal shaleh, berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.

Setiap hari ribut dengan tetangga. Kalau bukan sebelah kanan, ya tetangga sebelah kiri. Seringkali masalahnya cuma soal sepele dan remeh temeh, tapi permusuhan bisa berlangsung berhari-hari, kalau perlu ditambah sumpah tujuh turunan. Waktu demi waktu dihabiskan untuk menggunjingkan aib dan kejelekan saudara sendiri. Detik demi detik dada ini terus jengkel setiap kali melihat keberhasilan orang dan berharap orang lain celaka atau mendapatkan bencana. Sudah sedemikian pekatkah hati yang tertanam dalam dada ini? Adakah pantas hati yang seperti ini bertemu dengan Allah dan Rasulullah kelak?

Wajah indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada orang-orang beriman yang masuk ke dalam surga Allah kelak. Tentu saja mereka yang berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula. Tak inginkah kita menjadi bagian kelompok yang dicintai Allah itu? Lalu kenapa masih terus bermuka masam terhadap saudara sendiri?

Dengan adik tidak akur, kepada kakak tidak hormat. Terhadap orang tua kurang ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati mereka, apalah lagi mendoakan mereka, mungkin tidak pernah. Padahal mereka tak butuh apa pun selain sikap ramah penuh kasih dari anak-anak yang telah mereka besarkan dengan segenap cinta. Cinta yang berhias peluh, air mata, juga darah. Orang-orang seperti kita ini, apa pantas berharap surga Allah?

Dari ridha orang tua lah, ridha Allah diraih. Kaki mulia ibu lah yang disebut-sebut tempat kita merengkuh surga. Bukankah Rasulullah yang sejak kecil tak beribu memerintahkan untuk berbakti kepada ibu, bahkan tiga kali beliau menyebut nama ibu sebelum kemudian nama Ayah? Bukankah seharusnya kita lebih bersyukur saat masih bisa mendapati tangan lembut untuk dikecup, kaki mulia tempat bersimpuh, dan wajah teduh yang teramat hangat dan menyejukkan? Karena begitu banyak orang-orang yang tak lagi mendapatkan kesempatan itu. Ataukah harus menunggu Allah memanggil orang-orang terkasih itu hingga kita baru merasa benar-benar membutuhkan kehadiran mereka? Jangan tunggu penyesalan.

Astaghfirullaah ...

Ketika Cinta Harus Memilih

Ketika Cinta Harus Memilih

eramuslim - Ketika kita didudukan dalam situasi untuk memilih, tentu naluri kemanusiaan kita akan memilih yang terbaik (best of the best). Lalu bagaimana jika justru ketika pilihan tersebut tidak ada yang memenuhi kriteria kita, haruskah kita tinggalkan dan mencari pilihan lain? Bagaimana jika seandainya pilihan tersebut mutlak yang terakhir? Dan bagaimana jika seandainya pilihan tersebut adalah suatu keputusan yang justru berimplikasi terhadap masa depan kita? Bagaimana seandainya jika justru pilihan tersebut adalah ujian dari Allah Swt sebagai wujud dari kasih sayang-Nya terhadap kita?

Banyak cerita di sekeliling kita yang dapat dijadikan bahan renungan tentang makna pilihan, dan buntutnya tentu masalah cinta. Jangan berpikiran sempit dulu tentang cinta itu sendiri. Cinta bukan hanya cinta antara pasangan suami istri (pasutri), atau cinta antara anak dan orang tua, namun juga termaktub cinta kepada suatu barang, misalnya buku dan lainnya. Bahkan ada seseorang yang sangat mencintai idola-nya, entah itu seorang artis atau aktor film.

Bukan suatu kebetulan jika saya mengetengahkan makna cinta ini kok sepertinya berhubungan dengan hari 'valentine' yang sebentar lagi tiba. Jujur saja saya sudah tidak ambil pusing dengan perayaan tersebut semenjak saya tahu bahwa perayaan hari valentine itu sangat jauh dari nilai islami. Bagi saya, cinta itu bersifat universal yang berhak dimiliki dan dinikmati oleh setiap makhluk hidup di bumi Allah ini tanpa batas waktu dan jarak.

Lalu, bagaimana jika kita dihadapkan kepada suatu keharusan untuk memilih satu dari dua pilihan yang ada? Sudahkah kita memaknai bahwa pilihan tersebut adalah yang terbaik menurut Allah Swt untuk kita, bukan sebaliknya.

Suatu kali pernah seorang teman bercerita tentang kehidupan rumah tangganya yang bermasalah. Namun sayangnya hal tersebut dijadikan alasan oleh sang teman untuk membalas-dendam dengan, maaf, berselingkuh dengan orang lain. Saya pun kerap bertanya kepada diri saya sendiri, bukankah ketika kita memutuskan menikahi pasangan kita adalah suatu pilihan yang pasti terbaik dari segala pilihan yang ada?

Tapi tunggu dulu, terbaik menurut siapa?

Allah Swt menganugerahi setiap manusia sebuah bonus yang bernama 'akal', mengapa saya katakan 'bonus' karena selain manusia, makhluk lain (hewan dan tumbuhan) tidak dianugerahi hal yang sama. Selain itu, sebagai manusia kita pun dianugerahi 'titel' khalifah (di bumi) oleh Allah Swt.

"Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi". (Faathir:39)

Kembali kepada cerita seorang teman di atas, salahkah dia dengan pilihan hatinya? Salahkah dia ketika meresa kecewa karena pilihannya ternyata jauh dari apa yang dia impikan? Atau ketika dia diberikan pilihan, sudahkah dia memutuskan memilihnya dengan atas nama Allah?

Suami selalu mengingatkan saya untuk tidak terlalu mencintainya kalau bukan karena Allah Swt, karena ketika suatu saat Allah memanggil suami, tidak ada lagi cinta dan tempat bernaung yang tersisa, karena kesemua cinta yang ada sudah dibawanya pergi. Namun, ketika ketika kita mencintainya atas nama Allah, badai rintangan apapun yang menghadang, kita masih dapat berlindung di bawah kasih sayang-Nya karena hanya Allah Swt yang mampu memberikan kesempurnaan perlindungan.

Keputusan sang teman untuk berselingkuh, jelas meletakkan nafsu di atas akal. Bukan hanya tidak akan memecahkan masalah, bahkan akan menambah masalah baru. Akal pun dikorbankan atas nama nafsu semata.

Saya teringat ketika adzan maghrib berkumandang, sebagian kita mungkin sedang asyik menyimak berita demonstrasi di sebuah liputan berita nasional di televisi. Dan pilihan kembali disorongkan kepada diri kita. Mematikan televisi dan langsung berwudhu atau mentolerir diri kita dengan 'pembenaran', tokh beritanya tinggal lima menit, dan terus menonton. Kembali akal pun kita korbankan atas nama 'tinggal lima menit' ketika kita diberikan suatu pilihan di hadapan kita.

Bangun di waktu subuh ketika adzan berkumandang adalah satu pilihan terberat bagi sebagian orang yang lemah iman. Ketika orang lain sudah melangkah menuju surau/masjid di sisi lain kita mungkin masih enggan beranjak dari dalam selimut. Tidak hiraukan seruan dari surau.... ash shalatu khairun minan naum...

****

Cinta kepada orang lain melebihi cinta kepada suami, cinta kepada liputan berita daripada mendirikan sholat maghrib dan cinta kepada kehangatan selimut kita daripada bergegas ke surau adalah suatu pilihan yang diberikan Allah Swt bagi kaum yang berakal. Sudahkah kita termasuk ke dalam orang-orang yang berakal? Sudah pantaskah kita menjadi khafilah di bumi Allah ini?

Marilah kita bersegera sujud memohon ampun kehadirat-Nya atas segala keterlenaan kita dan atas keterbiusan kita akan gemerlap duniawi yang sebenarnya tiada kekal. "Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)." (Al-Baqarah:269)

Lalu, cinta manakah yang akan Anda pilih? Wallaahu'alam bishshowab. (Rosanti K Adnan/yose@ratelindo.co.id)

Hukum Pacaran Dalam Islam?

Berhubung dalam comment di beberapa artikel dan di shoutbox ada sahabat yg menanyakan tentang pacaran dalam islam maka berikut saya carikan artikel kemudian saya posting kembali di sini dengan menyertakan sumber artikelnya. Semoga bermanfaat…

1. Hukum pacaran itu bagaimana sih? ….
2. Saya ingin tanya tentang pergaulan antara pria dan wanita menurut syariat islam! dan bagaimana hukumnya apabila tidak berpacaran namun bergaul dengan pria lain dan pria itu timbul perasaan terhadap kita walaupun kita tidak ingin dikatakan berpacaran dengan pria itu walaupun wanitanya lama-lama juga timbul perasaan tertarik pada pria tersebut? Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya! …
3. Saya muslimah ingin menyakan tentang hukum pacaran saya pernah dengar katanya pacaran itu haram lalu bagi cowok untuk mengetahui sifat/karakter pujaannya bisa mengirim saudaranya untuk mengetahui nya(mohon koreksinya), lalu bagaimana dengan cewek? apakah juga perlu mengirimkan saudaranya untuk mengetahui sifat cowok pujaanya? …

Jawaban:

Dalam Islam, hubungan antara pria dan wanita dibagi menjadi dua, yaitu hubungan mahram dan hubungan nonmahram. Hubungan mahram adalah seperti yang disebutkan dalam Surah An-Nisa 23, yaitu mahram seorang laki-laki (atau wanita yang tidak boleh dikawin oleh laki-laki) adalah ibu (termasuk nenek), saudara perempuan (baik sekandung ataupun sebapak), bibi (dari bapak ataupun ibu), keponakan (dari saudara sekandung atau sebapak), anak perempuan (baik itu asli ataupun tiri dan termasuk di dalamnya cucu), ibu susu, saudara sesusuan, ibu mertua, dan menantu perempuan. Maka, yang tidak termasuk mahram adalah sepupu, istri paman, dan semua wanita yang tidak disebutkan dalam ayat di atas.

Uturan untuk mahram sudah jelas, yaitu seorang laki-laki boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan mahramnya, semisal bapak dengan putrinya, kakak laki-laki dengan adiknya yang perempuan, dan seterusnya. Demikian pula, dibolehkan bagi mahramnya untuk tidak berhijab di mana seorang laki-laki boleh melihat langsung perempuan yang terhitung mahramnya tanpa hijab ataupun tanpa jilbab (tetapi bukan auratnya), semisal bapak melihat rambut putrinya, atau seorang kakak laki-laki melihat wajah adiknya yang perempuan. Aturan yang lain yaitu perempuan boleh berpergian jauh/safar lebih dari tiga hari jika ditemani oleh laki-laki yang terhitung mahramnya, misalnya kakak laki-laki mengantar adiknya yang perempuan tour keliling dunia. Aturan yang lain bahwa seorang laki-laki boleh menjadi wali bagi perempuan yang terhitung mahramnya, semisal seorang laki-laki yang menjadi wali bagi bibinya dalam pernikahan.

Hubungan yang kedua adalah hubungan nonmahram, yaitu larangan berkhalwat (berdua-duaan), larangan melihat langsung, dan kewajiban berhijab di samping berjilbab, tidak bisa berpergian lebih dari tiga hari dan tidak bisa menjadi walinya. Ada pula aturan yang lain, yaitu jika ingin berbicara dengan nonmahram, maka seorang perempuan harus didampingi oleh mahram aslinya. Misalnya, seorang siswi SMU yang ingin berbicara dengan temannya yang laki-laki harus ditemani oleh bapaknya atau kakaknya. Dengan demikian, hubungan nonmahram yang melanggar aturan di atas adalah haram dalam Islam. Perhatikan dan renungkanlah uraian berikut ini.

Firman Allah SWT yang artinya, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra: 32).

“Katakanlah kepada orang-orang mukmin laki-laki: ‘Hendaklah mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya ….’ Dan katakanlah kepada orang-orang mukmin perempuan: ‘Hendaknya mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya …’.”
(An-Nur: 30–31)
.

Menundukkan pandangan yaitu menjaga pandangan, tidak dilepas begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan merasakan kelezatan atas birahinya kepada lawan jenisnya yang beraksi. Pandangan dapat dikatakan terpelihara apabila secara tidak sengaja melihat lawan jenis kemudian menahan untuk tidak berusaha melihat mengulangi melihat lagi atau mengamat-amati kecantikannya atau kegantengannya.

Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah saw. tentang melihat dengan mendadak. Maka jawab Nabi, ‘Palingkanlah pandanganmu itu!” (HR Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan Tirmizi).

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda yang artinya, “Kedua mata itu bisa melakukan zina, kedua tangan itu (bisa) melakukan zina, kedua kaki itu (bisa) melakukan zina. Dan kesemuanya itu akan dibenarkan atau diingkari oleh alat kelamin.” (Hadis sahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas dan Abu Hurairah).

“Tercatat atas anak Adam nasibnya dari perzinaan dan dia pasti mengalaminya. Kedua mata zinanya melihat, kedua teling zinanya mendengar, lidah zinanya bicara, tangan zinanya memaksa (memegang dengan keras), kaki zinanya melangkah (berjalan) dan hati yang berhazrat dan berharap. Semua itu dibenarkan (direalisasi) oleh kelamin atau digagalkannya.” (HR Bukhari).

Rasulullah saw. berpesan kepada Ali r.a. yang artinya, “Hai Ali, Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya! Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun berikutnya tidak boleh.(HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).

Al-Hakim meriwayatkan, “Hati-hatilah kamu dari bicara-bicara dengan wanita, sebab tiada seorang laki-laki yang sendirian dengan wanita yang tidak ada mahramnya melainkan ingin berzina padanya.”

Yang terendah adalah zina hati dengan bernikmat-nikmat karena getaran jiwa yang dekat dengannya, zina mata dengan merasakan sedap memandangnya dan lebih jauh terjerumus ke zina badan dengan, saling bersentuhan, berpegangan, berpelukan, berciuman, dan seterusnya hingga terjadilah persetubuhan.

Ath-Thabarani dan Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah berfirman yang artinya, ‘Penglihatan (melihat wanita) itu sebagai panah iblis yang sangat beracun, maka siapa mengelakkan (meninggalkannya) karena takut pada-Ku, maka Aku menggantikannya dengan iman yang dapat dirasakan manisnya dalam hatinya.”

Ath-Thabarani meriwayatkan, Nabi saw. bersabda yang artinya, “Awaslah kamu dari bersendirian dengan wanita, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, tiada seorang lelaki yang bersendirian (bersembunyian) dengan wanita malainkan dimasuki oleh setan antara keduanya. Dan, seorang yang berdesakkan dengan babi yang berlumuran lumpur yang basi lebih baik daripada bersentuhan bahu dengan bahu wanita yang tidak halal baginya.”

Di dalam kitab Dzamm ul Hawa, Ibnul Jauzi menyebutkan dari Abu al-Hasan al-Wa’ifdz bahwa dia berkata, “Ketika Abu Nashr Habib al-Najjar al-Wa’idz wafat di kota Basrah, dia dimimpikan berwajah bundar seperti bulan di malam purnama. Akan tetapi, ada satu noktah hitam yang ada wajahnya. Maka orang yang melihat noda hitam itu pun bertanya kepadanya, ‘Wahai Habib, mengapa aku melihat ada noktah hitam berada di wajah Anda?’ Dia menjawab, ‘Pernah pada suatu ketika aku melewati kabilah Bani Abbas. Di sana aku melihat seorang anak amrad dan aku memperhatikannya. Ketika aku telah menghadap Tuhanku, Dia berfirman, ‘Wahai Habib?’ Aku menjawab, ‘Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah.’ Allah berfirman, ‘Lewatlah Kamu di atas neraka.’ Maka, aku melewatinya dan aku ditiup sekali sehingga aku berkata, ‘Aduh (karena sakitnya).’ Maka. Dia memanggilku, ‘Satu kali tiupan adalah untuk sekali pandangan. Seandainya kamu berkali-kali memandang, pasti Aku akan menambah tiupan (api neraka).”

Hal tersebut sebagai gambaran bahwa hanya melihat amrad (anak muda belia yang kelihatan tampan) saja akan mengalami kesulitan yang sangat dalam di akhirat kelak.

“Semalam aku melihat dua orang yang datang kepadaku. Lantas mereka berdua mengajakku keluar. Maka, aku berangkat bersama keduanya. Kemudian keduanya membawaku melihat lubang (dapur) yang sempit atapnya dan luas bagian bawahnya, menyala api, dan bila meluap apinya naik orang-orang yang di dalamnya sehingga hampir keluar. Jika api itu padam, mereka kembali ke dasar. Lantas aku berkata, ‘Apa ini?’ Kedua orang itu berkata, ‘Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan zina.” (Isi hadis tersebut kami ringkas redaksinya. Hadis di ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

Di dalam kitab Dzamm ul-Hawa, Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa Abu Hurairah r.a. dan Ibn Abbas r.a., keduanya berkata, Rasulullah saw. Berkhotbah, “Barang siapa yang memiliki kesempatan untuk menggauli seorang wanita atau budak wanita lantas dia melakukannya, maka Allah akan mengharamkan surga untuknya dan akan memasukkan dia ke dalam neraka. Barang siapa yang memandang seorang wanita (yang tidak halal) baginya, maka Allah akan memenuhi kedua matanya dengan api dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam neraka. Barang siapa yang berjabat tangan dengan seorang wanita (yang) haram (baginya) maka di hari kiamat dia akan datang dalam keadaan dibelenggu tangannya di atas leher, kemudian diperintahkan untuk masuk ke dalam neraka. Dan, barang siapa yang bersenda gurau dengan seorang wanita, maka dia akan ditahan selama seribu tahun untuk setiap kata yang diucapkan di dunia. Sedangkan setiap wanita yang menuruti (kemauan) lelaki (yang) haram (untuknya), sehingga lelaki itu terus membarengi dirinya, mencium, bergaul, menggoda, dan bersetubuh dengannya, maka wanitu itu juga mendapatkan dosa seperti yang diterima oleh lelaki tersebut.”

‘Atha’ al-Khurasaniy berkata, “Sesungguhnya neraka Jahanam memiliki tujuh buah pintu. Yang paling menakutkan, paling panas, dan paling busuk baunya adalah pintu yang diperuntukkan bagi para pezina yang melakukan perbuatan tersebut setelah mengetahui hukumnya.”

Dari Ghazwan ibn Jarir, dari ayahnya bahwa mereka berbicara kepada Ali bin Abi Thalib mengenai beberapa perbuatan keji. Lantas Ali r.a. berkata kepada mereka, “Apakah kalian tahu perbuatan zina yang paling keji di sisi Allah Jalla Sya’nuhu?” Mereka berkata, “Wahai Amir al-Mukminin, semua bentuk zina adalah perbuatan keji di sisi Allah.” Ali r.a. berkata, “Akan tetapi, aku akan memberitahukan kepada kalian sebuah bentuk perbuatan zina yang paling keji di sisi Allah Tabaaraka wa Taala, yaitu seorang hamba berzina dengan istri tetangganya yang muslim. Dengan demikian, dia telah menjadi pezina dan merusak istri seorang lelaki muslim.” Kemudian, Ali r.a. berkata lagi, “Sesungguhnya akan dikirim kepada manusia sebuah aroma busuk pada hari kiamat, sehingga semua orang yang baik maupun orang yang buruk merasa tersiksa dengan bau tersebut. Bahkan, aroma itu melekat di setiap manusia, sehingga ada seseorang yang menyeru untuk memperdengarkan suaranya kepada semua manusia, “Apakah kalian tahu, bau apakah yang telah menyiksa penciuman kalian?” Mereka menjawab, “Demi Allah, kami tidak mengetahuinya. Hanya saja yang paling mengherankan, bau tersebut sampai kepada masing-masing orang dari kita.” Lantas suara itu kembali terdengar, “Sesungguhnya itu adalah aroma alat kelamin para pezina yang menghadap Allah dengan membawa dosa zina dan belum sempat bertobat dari dosa tersebut.”

Bukankah banyak kejadian orang-orang yang berpacaran dan bercinta-cinta dengan orang yang telah berkeluarga? Jadi, pacaran tidak hanya mereka yang masih bujangan dan gadis, tetapi dari usia akil balig hingga kakek nenek bisa berbuat seperti yang diancam oleh hukuman Allah tersebut di atas. Hanya saja, yang umum kelihatan melakukan pacaran adalah para remaja.

Namun, bukan berarti tidak ada solusi dalam Islam untuk berhubungan dengan nonmahram. Dalam Islam hubungan nonmahram ini diakomodasi dalam lembaga perkawinan melalui sistem khitbah/lamaran dan pernikahan.

“Hai golongan pemuda, siapa di antara kamu yang mampu untuk menikah, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih memelihara kemaluan. Tetapi, siapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat mengurangi syahwat.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Darami).

Selain dua hal tersebut di atas, baik itu dinamakan hubungan teman, pergaulan laki perempuan tanpa perasaan, ataupun hubungan profesional, ataupun pacaran, ataupun pergaulan guru dan murid, bahkan pergaulan antar-tetangga yang melanggar aturan di atas adalah haram, meskipun Islam tidak mengingkari adanya rasa suka atau bahkan cinta. Anda bahkan diperbolehkan suka kepada laki-laki yang bukan mahram, tetapi Anda diharamkan mengadakan hubungan terbuka dengan nonmahram tanpa mematuhi aturan di atas. Maka, hubungan atau jenis pergaulan yang Anda sebutkan dalam pertanyaan Anda adalah haram. Kalau masih ingin juga, Anda harus ditemani kakak laki-laki ataupun mahram laki-laki Anda dan Anda harus berhijab dan berjilbab agar memenuhi aturan yang telah ditetapkan Islam.

Hidup di dunia yang singkat ini kita siapkan untuk memperoleh kemenangan di hari akhirat kelak. Oleh karena itu, marilah kita mulai hidup ini dengan bersungguh-sungguh dan jangan bermain-main. Kita berusaha dan berdoa mengharap pertolongan Allah agar diberi kekuatan untuk menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Semoga Allah menolong kita, amin.

Adapun pertanyaan berikutnya kami jawab bahwa cara mengetahui sifat calon pasangan adalah bisa tanya secara langsung dengan memakai pendamping (penengah) yang mahram. Atau, bisa melalui perantara, baik itu dari keluarga atau saudara kita sendiri ataupun dari orang lain yang dapat dipercaya. Hal ini berlaku bagi kedua belah pihak. Kemudian, bagi seorang laki-laki yang menyukai wanita yang hendak dinikahinya, sebelum dilangsungkan pernikahan, maka baginya diizinkan untuk melihat calon pasangannya untuk memantapkan hatinya dan agar tidak kecewa di kemudian hari.

“Apabila seseorang hendak meminang seorang wanita kemudian ia dapat melihat sebagian yang dikiranya dapat menarik untuk menikahinya, maka kerjakanlah.” (HR Abu Daud).

Hal-hal yang mungkin dapat dilakukan sebagai persiapan seorang muslim apabila hendak melangsungkan pernikahan.
1. Memilih calon pasangan yang tepat.
2. Diproses melalui musyawarah dengan orang tua.
3. Melakukan salat istikharah.
4. Mempersiapkan nafkah lahir dan batin.
5. Mempelajari petunjuk agama tentang pernikahan.
6. Membaca sirah nabawiyah, khususnya yang menyangkut rumah tangga Rasulullah saw.
7. Menyelesaikan persyaratan administratif sesui dengan peraturan daerah tempat tinggal.
8. Melakukan khitbah/pinangan.
9. Memperbanyak taqarrub kepada Allah supaya memperoleh kelancaran.
10. Mempersiapkan walimah.

Demikian uraian jawaban kami, wallaahu a’lam.

Sumber: eramuslim.com


Ukuran hurufUrgensi Aspek Ruhiyah Bagi Kader Dakwah Menuju Kesuksesan Tarbiyah[1]

Oleh: Muhammad Triono

Barangkali kita pernah mendapati ada kader dakwah yang cukup handal dalam pengetahuan dan wawasan keislamannya namun minus dalam aspek ruhiyah. Pengetahuan dan wawasan keislamannya hanya mampu memberinya petunjuk tentang sebuah pemecahan persoalan dan kebenaran tetapi ia tidak mampu menghayati persoalan dan kebenaran tersebut. Seorang yang minus aspek ruhiyah seperti itu akan tampak kuat dalam pengembangan penalaran dan intelektualitas, namun "kering" dalam penjiwaan nuansa-nuansa sentuhan religius.

Ia hanya memiliki kekayaan warna pemikiran, namun miskin dalam emosionalitas keagamaan yang mampu memberi warna dalam pribadinya. Ketajaman analisis berpikir yang dimilikinya tidak diikuti dengan kecemerlangan hubungannya dengan Al-Khaliq, Allah SWT, dan ketinggiannya dalam akhlak. Kenyataan ini patut disayangkan.

Aspek ruhiyah adalah suatu kesadaran tentang eksistensi Allah SWT dengan segala sifat-Nya dan keterkaitan serta hubungan seseorang dengan Allah SWT yang mewarnai seluruh perilakunya. Aspek ruhiyah juga meliputi sejauh mana upaya seorang hamba dalam mendekati Tuhannya. Aspek ruhiyah akan memberi jiwa dalam tingkah laku yang dimunculkan oleh bentuk lahir manusia. Aspek ruhiyah adalah unsur dalam dari sebuah pemunculan perilaku manusia dalam kehidupannya.

Indikasi bahwa seseorang memiliki aspek ruhiyah yang kuat adalah adanya sikap ketergantungan yang sangat tinggi terhadap Allah SWT. Ia menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya tujuan dalam segala hal yang dibarengi dengan kegigihan dan kesungguhannya dalam mengerjakan sebuah aktivitas. Ia berupaya keras untuk selalu mengisi kehidupannya dengan kebajikan dan perbuatan yang bermanfaat. Ia juga berupaya meninggalkan keburukan dan hal-hal yang tidak berguna. Ia gemar menjalankan ibadah-ibadah sunnah. Perangainya sangat terjaga dan merupakan cerminan dari akhlak karimah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Seorang kader dakwah yang memiliki aspek ruhiyah yang kuat adalah seseorang yang mampu memberi makna terhadap setiap peristiwa yang terjadi dalam hubungan dirinya dengan Tuhannya dan segala kekuasaan yang dimiliki-Nya. Ia akan merasakan keberadaan Tuhan dalam berbagai peristiwa yang terjadi dan fakta-fakta yang disaksikannya.

Aspek ruhiyah akan selalu memberi motivasi terhadap seseorang dalam kehidupannya. Ia merupakan bara semangat dalam beraktivitas yang yang tidak mudah padam. Karena itu, kekuatan ruhiyah adalah kekuatan luar biasa yang dimiliki oleh seseorang.

Betapa penting aspek ruhiyah bagi seorang kader dakwah. Ia mampu menjaga dari rasa frustasi dan putus asa ketika seseorang mengalami kekecewaan dan kegagalan. Aspek ruhiyah juga akan menjaga dari kegembiraan yang berlebihan dan rasa takabur apabila mengalami keberhasilan, kebahagiaan dan kemenangan. Aspek ruhiyah akan menjaga dari rasa malas berkelanjutan dalam beraktivitas dakwah.

Aspek ruhiyah juga akan memberikan semangat keberanian dengan mengharap perlindungan dan pertolongan kepada Allah SWT. Aspek ruhiyah akan mengobati hati seorang kader dakwah dari "sakitnya" dan menuntunnya dari gelap kepada terang-benderang. Aspek ruhiyah juga akan memberikan kesabaran dan keteguhan untuk tetap istiqomah dalam berda'wah. Aspek ruhiyah akan memberikan optimisme dan harapan terhadap masa depan dakwah. Aspek ruhiyah akan membangkitkan semangat berkorban yang tinggi yang diiringi dengan keyakinan kuat bahwa Allah SWT akan memberikan balasan yang lebih baik lagi.

Aspek ruhiyah akan menggerakkan seorang kader dakwah untuk menyerap segala pertolongan dan kekuatan dari Allah SWT melalui segenap perilaku dan keutamaan ibadah-ibadahnya. Aspek ruhiyah akan mengundang datangnya petunjuk dan bimbingan dari Allah SWT melalui kesungguhan memohon penjelasan dalam melangkah di jalan da'wah. Aspek ruhiyah akan membangkitkan simpati dari obyek dakwah, bahkan bukan tidak juga dari musuh dakwah, karena keutamaan perangai dan perilakunya. Aspek ruhiyah akan mendatangkan segala bantuan dan kelebihan bagi seorang kader dakwah dalam menjalani dunia dakwahnya.

Apabila organisasi gerakan dakwah terdiri dari individu-individu yang kuat dalam aspek ruhiyahnya dan dijadikannya aspek ruhiyah itu sebagai salah satu hal yang diperhatikan, maka oraginsasi ini akan memiliki kelebihan dan keunggulan dalam menjalani gerakan dakwahnya. Tidak sedikit pertolongan dan bantuan Allah SWT akan diberikan kepada organisasi tersebut dalam mencapai keberhasilan dan kemenangannya. Inilah peran penting aspek ruhiyah bagi sebuah organisasi gerakan dakwah.

Agar terbentuk aspek ruhiyah yang kuat pada seorang kader dakwah, maka diperlukan pembinaan ruhiyah (tarbiyah ruhiyah) secara berkesinambungan. Karena itu organisasi gerakan dakwah harus memiliki program pembinaan ruhiyah bagi para kadernya. Pembinaan ruhiyah ini dapat dilakukan melalui penyampaian materi-materi yang mengantarkan kepada pemahaman tentang Allah SWT beserta segala sifat dan kekuasaan-Nya, penjelasan tentang kehidupan akhirat, janji-janji dan ancaman Allah kepada manusia dan sebagainya.

Pemberian pemahaman harus diiringi dengan pembiasaan praktek-praktek ibadah (mulai dari yang fardhu sampai dengan ibadah-ibadah sunnah yang utama), membiasakan untuk introspeksi diri (muhasabah), pengenalan kekuasaan Allah SWT pada alam semesta secara langsung dan lainnya yang bersifat praktis. Juga jangan dilupakan tentang penanaman akhlak karimah dengan segala keutamaannya.

Jika ingin mencapai kelebihan dan keberhasilan, pembinaan ruhiyah tidak boleh diabaikan oleh gerakan dakwah. Sekalipun pembinaan ruhiyah bukanlah satu-satunya pembinaan yang harus dilakukan, namun pengabaian terhadap pembinaan ruhiyah akan berakibat kepada tidak utuhnya sebuah gerakan dakwah. Agar diperoleh pribadi-pribadi muslim paripurna sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka pembinaan ruhiyah harus dilakukan dengan sebaik-baiknya dan secara berkesinambungan.

Namun perlu diingat bahwa untuk mencapai aspek ruhiyah yang kuat pada seseorang bukanlah pekerjaan yang mudah dan waktu yang singkat. Gerakan dakwah harus bersungguh-sungguh, penuh kesabaran yang berkelanjutan dalam melakukan pembinaan ruhiyah terhadap kader-kadernya. Jerih payah ini suatu saat nanti akan menampakkan hasil. Insya Allah

Meraih Kesuksesan Tarbiyah di Era Jamahiriyah Dakwah

Parameter Kesuksesan dalam Tarbiyah

Kesuksesan adalah kata yang menjadi obsesi seseorang dalam melakukan aktivitasnya. Mereka akan mengerahkan segenap usaha dan kemampuan untuk mencapainya. Namun penilaian orang tentang ukuran kesuksesan bermacam-macam. Sehingga banyak orang memberikan patokannya masing-masing untuk menilai seseorang atau suatu kegiatan itu dipandang sukses. Ada yang memandang dari segi banyaknya hasil keuntungan finansial yang didapat. Ada pula yang berpatokan pada banyak sedikitnya orang yang terlibat. Ada pula yang menilai pada rasa kepuasan ketika melakukan sesuatu. Dan masih banyak lagi patokan-patokan lainnya.

Parameter kesuksesan ini sebagai alat untuk mengukur keberhasilan seseorang melakukan sesuatu. Agar apa yang akan dan sedang dilakukan dapat dievaluasi dengan seksama dan terukur. Baik kegiatan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau kegiatan yang berhubungan dengan usaha perniagaan atau kegiatan lainnya termasuk juga aktifitas tarbiyah ini. Berbicara tentang kesuksesan tarbiyah ada baiknya kita melihat paparan QS. Al Fath: 29 yakni:

Tampaknya itulah yang menjadi parameter kesuksesan tarbiyah sebagaimana yang telah dilakukan Rasulullah SAW. dalam membina manusia hingga mendapatkan pengakuan dari Allah SWT. sebagai generasi manusia yang terbaik. Bila kita telaah ayat tersebut paling tidak kita akan temukan parameternya sebagai berikut:

1. Hubungan yang harmonis antara murabbi dengan mutarabbi begitu pula sebaliknya hubungan yang harmonis dalam tarbiyah ini maksudnya

2. Rasa nyaman dalam tarbiyah

3. Kekuatan ruhiyah

4. Karakteristik kader yang kokoh

5. Produktif

6. Pemberdayaan dan pemfungsian kader

7. Meraih ridha dan magfirah Allah SWT.

Tarbiyah, Menyongsong Peradaban Masa Depan

Kisah Umar bin Abdul Aziz yang memerintah kaum muslimin dalam waktu yang relatif singkat dapat membangun peradaban umat Islam dan manusia secara keseluruhan

Ada enam pondasi untuk membangun Peradaban Tarbiyah;

1. Tegaknya keadilan (Iqamatul adl)

Sikap Rasulullah SAW. ketika menerima Usamah bin Zaid RA. Yang meminta keringanan sangsi atas perbuatan seorang pemuka Kabilah Bani Khuza’ah yang melakukan pelanggaran (pencurian), lalu Rasulullah SAW. Dengan tegas menolak permintaan dispensasi tersebut dengan mengatakan bahwa generasi terdahulu hancur lantaran meninggalkan sanksi bagi para pembesar yang melakukan pelanggaran akan tetapi apabila kalangan jelata yang melakukannya maka diberlakukan sangsi. Oleh karena itu demi Allah jika Fatimah binti Muhammad melakukan pelanggaran aku yang akan mengeksekusinya.

2. Sikap dan perilaku antar manusia secara ihsan (Al Ihsan)

Islam mengajarkan untuk menyemarakkan alam semesta dengan nilai-nilai kebaikan. Nilai kebaikan bahkan agar dirasakan untuk semua kalangan. Karena prinsip Islam untuk kemaslahatan bersama.

3. Saling menghubungkan tali silaturahmi antar sesama (Ita’ dzil qurba)

4. Menjauhkan diri dari perbuatan keji (al Ibti’ad anil ma’shiyah)

5. Mencegah kemungkaran (An Nahyu anil mungkar)

6. Tidak ada permusuhan (Adamul ‘Itida’)

Pilar pengokohnya ada lima

1. Memenuhi janji kepada Allah (al wafa bil uhud)

2. Tidak menggugurkan komitmen (adamu naqdhil mitsaq)

3. Kesatuan dan persatuan (al iitihad wal wihdah)

4. Mengokohkan hidayah dari Allah (al hidayah minallah)

5. Bersabar dalam amal (as shabru alal amal)

Mengalirlah Bagai Air
"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman" (Qs. Ali Imran : 100)

Ayat di atas diturunkan berkenaan dengan sikap para sahabat setelah perang Badar, mereka duduk-duduk santai sambil menceritakan kehebatan masing-masing diri dan sukunya dalam peperangan yang baru usai. Kondisi ini dimanfaatkan orang kafir untuk menyulut kembali persoalan masa lalu yang telah mereka pendam, yakni fanatisme kesukuan. Akhirnya muncullah sikap saling membanggakan diri dari kelebihan mereka masing-masing di waktu perang Badar. Percikan ini mengakibatkan amarah dari masing-masing pihak yang bertikai untuk membuktikan siapa sebenarnya yang paling hebat. Bahkan nyaris akan terjadi bentrokan besar antar mereka.

Berita ini sampai juga kepada Rasulullah saw. Beliau prihatin dengan kondisi yang terjadi di antara mereka karena permasalahan ini, padahal dengan ajaran Islam para sahabat telah diselamatkan dari permusuhan dan konflik kesukuan kepada persaudaraan dan persatuan dalam Islam. Menyadari kondisi ini akan membahayakan eksistensi kaum muslimin maka beliau menyikapinya dengan memberikan kesibukan kepada para sahabat terhadap aktifitas dakwah. Kesibukan para sahabat ternyata mampu meredam konflik internal yang akan membahayakan diri mereka dan kaum muslimin pada umumnya. Sejak peristiwa itu amaliyat dakwah beruntun diperintahkan Allah SWT kepada mereka.

Apabila kita memperhatikan peristiwa yang terjadi di kalangan sahabat tadi, merupakan teguran untuk kita semua agar selalu berbuat dan menindak lanjutinya dengan aktifitas lain setelah selesai mengerjakannya. Di samping itu jeda aktifitas setelah sibuk dengan berbagai kegiatan apalagi yang berkaitan dengan amal dakwah dan tarbiyah akan membawa dampak negatif sedikit atau banyak.

Ketika mengingat kejadian di atas, terlintas dalam benak pikiran saya barang kali banyak bermunculannya permasalahan konflik internal lantaran adanya jeda yang cukup lama dari aktifitas yang kerap dan biasa kita lakukan. Kemudian saya teringat apa yang dinasehatkan Syekh Mustafa Masyhur "janganlah kalian lupa bahwa titik tolak berangkat kalian bermula dari aktifitas tarbiyah". Nasihat syekh ini menegaskan bahwa aktifitas yang sekarang ini kita rasakan kenikmatannya, kita petik buahnya, kita raih hasilnya, dan kita rambah berbagai wilayah dan gedung bermula dari aktifitas tarbiyah. Aktifitas yang membentuk diri kita seperti sekarang ini.

Mencermati aktifitas dakwah dan tarbiyah beberapa waktu yang lalu mengalami penurunan, sehingga terjadi ketumpulan dalam pengelolaan dan peningkatan produktivitas dakwah dan tarbiyah. Penurunan ini tidak boleh berlarut-larut akan tetapi harus segera kembali pada penyadaran diri untuk berada pada jalan yang benar dalam amaliyah ini. Jalan yang benar dalam aktifitas dakwah dan tarbiyah ini adalah melakukan taf'il tarbawi (optimalisasi tarbiyah) dan ta'shil tarbawi (kembali pada orisinalitasnya tarbiyah) agar meraih produktivitasnya demi kejayaan Islam. Mengingat dua sasaran yang mesti dicapai perlu mengembalikan semangat dan stamina dakwah dan tarbiyah kita dengan mengingat hal-hal berikut :

1. Menyadari bahwa kesempatan yang diberikan Allah SWT. tidak akan terulang kembali.

Imam 'Athaillah Sakandari memaparkan dalam kitabnya Taajul 'Aruus, bahwa kesempatan yang diberikan Allah SWT. tidak akan berulang. Ia datang menjumpai manusia sekali saja, karenanya orang yang tidak memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya termasuk orang-orang yang pandir.

Kesempatan yang diberikan pada kita sangat banyak sekali untuk melakukan kebajikan namun sering kali kita mengabaikannya. Saat ini kita masih diberikan peluang untuk beramal dalam dakwah dan tarbiyah. Betapa banyak tugas yang bisa kita kerjakan. Merekrut manusia agar mendapatkan hidayah selanjutnya dapat mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupannya.

Memberdayakan kesempatan yang kita miliki diperlukan modal besar. Modal besar itu adalah kecerdasan dan kedewasaan dalam bersikap. Dengan kecerdasannya ia akan mengendalikan dirinya serta mampu memeta aktivitasnya guna meraih manfaat di masa yang akan datang. Rasulullah SAW bersabda bahwa orang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan diri dan berbuat untuk hari esok. Dengan kecerdasan dan kedewasaan dalam bersikap ini kita dapat mengukir kesempatan itu dengan berbagai amal mulia.

2. Aktifitas yang stabil dan dinamis memberikan kesehatan menyeluruh.

Selanjutnya adalah mendinamiskan dan menstabilkan amal yang kita kerjakan. Kegiatan yang dinamis dan stabil akan memberikan dampak kebaikan, di antaranya kesehatan yang menyeluruh; kesehatan ruhiyah, fikriyah dan jasadiyah. Imam Syafi'i Rahimahullah memberikan pelajaran yang baik dan bijak dalam masalah tersebut. Menurut imam terkemuka ini, air yang diam tergenang akan cepat rusak dan dapat kembali baik jika dialirkan. Karena air yang mengalir mengaktifkan susunan molekul yang ada di dalamnya.

Islam mengibaratkan kehidupan seorang mukmin bagaikan tubuh yang saling terkait satu organnya dengan organ lain. Aktifitas organ yang dinamis ditandai dengan gerakan yang terarah dan terukur. Gerakan-gerakan ini memberikan kehangatan pada setiap elemennya. Kehangatan itu berarti tanda adanya kehidupan yang akan memberikan manfaat besar baginya.

Dalam kaidah dakwah dikenal satu kaidah yang berbunyi Alharakah barakah (gerakan akan memberikan keberkahan). Dengan kaidah ini kita meyakini bahwa keberkahan akan didapat bila ada gerakan-gerakan yang dinamis. Oleh karena itu saatnya kita berbuat……berbuat………dan berbuat. Bukan menjadi penonton, bukan pula mengomentari orang lain, bukan pula menyalahkan keadaan, serta bukan pula menjadi orang yang bingung untuk berbuat.

3. Balasan Allah SWT. bagi orang yang berbuat.

Allah SWT. akan membalasi orang yang berbuat setimpal dengan mutu perbuatannya malah lebih besar lagi. Sudah barang tentu hal ini agar mendorong kita untuk berbuat lebih baik lagi. Sikap Allah Orientate ini hendaknya menjadi dasar perbuatan kita agar kita terhindar dari sikap putus asa bila tidak dapat merasakan jerih upayanya dan tidak sombong ketika meraih hasilnya. "Dan masing-masing orang memperoleh derajat seimbang dengan apa yang mereka kerjakan. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan". (QS. Al An' am : 132). "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan" (QS. An Nahl : 97).

4. Berbuat mewariskan sesuatu yang terbaik kepada generasi yang akan datang.

Warisan merupakan peninggalan kepada generasi yang akan datang. Mewariskan sesuatu yang baik menjadi sebuah kemestian. Bahkan Islam menandaskan agar khawatir dan cemas bila meninggalkan generasi yang lemah dan terbelakang. Apabila kita menyimak sejarah orang terdahulu yang diabadikan dalam QS. Al Baqarah : 132 – 134 maka kita temukan bahwa mereka mempersiapkan bekalan-bekalan yang baik kepada generasi berikutnya. Bekalan itu untuk mengokohkan tugas dan tanggung jawab generasi yang akan datang supaya dimudahkan Allah SWT untuk menunaikannya.

Syekh Mustafa Masyhur telah menyatakan: Dauruna qad madha wa saya'ti daurukum (era kami telah lewat dan akan datang era kalian). Pernyataan ini secara implisit menyiratkan bahwa para pendahulu dakwah ini telah memberikan bekalan dan arahan kerja dalam dakwah ini kepada kita untuk ditindak lanjutinya. Betapa banyak bekalan yang telah mereka berikan pada kita, namun apakah kita telah berbuat dalam dakwah dan tarbiyah ini agar menjadi warisan bagi generasi berikutnya. Atau akankah kita digugat oleh generasi yang akan datang lantaran karena kita belum berbuat. Memperhatikan besarnya tanggung jawab kita terhadap dakwah dan tarbiyah saat ini maka perlu kita sikapi dengan sebuah tekad: mengalirlah jangan berhenti…..! Wallahu A’lam Bishawwab.


[1]Disampaikan dalam acara Temu LDK se-Lampung dan MABIT Ramadhan 1429 H Sesi Kuliah Ramadhan di STAIN Metro. Sabtu, 13 September 2008.

TIDAK BUTUH?

KITA TIDAK BUTUH MUWASHOFAT KADER
SEPULUH slogan NOL implementasi

kami adalah panah-panah terbujur

kami adalah pedang-pedang terhunus

kami adalah tombak-tombak berjajar

kami adalah butir-butir peluru

kami adalah mata pena yang tajam

seperti elang kami melayang

seperti air kami mengalir

seperti matahari kami berputar

seperti gunung kami merenung.
Kebangkitan umat adalah sebuah cita-cita besar bagi kita semua. Tentunya untuk mempersiapkan kondisi kebangkitan itu di butuhkan orang-orang yang mampu dan kuat untuk mewujudkannya. Jangan pernah bermimpi jika dengan persiapan yang seadanya kita akan bisa mewujudkan kebangkitan umat. Cita-cita besar butuh persiapan besar. Persiapan yang kecil dan seadanya hanya untuk karya-karya yang juga kecil bahkan sangat kecil.

Kader sejati sangat dibutuhkan dalam mempersiapkan dan mengusung kebangkitan ummat. Bukan setiap orang tentunya yang bisa mewujudkannya, tetapi hanya mereka yang telah memenuhi muwashofat, mereka yang telah memilki dan mengamalkan apa yang kita namakan sebagai karakter kader sejati.

Berbicara tentang muwashafat kader sebenarnya kita telah lama mengenalnya, bukan baru tadi atau kemaren sore, untuk ukuran sebuah waktu pembelajaran kita telah lama sekali mengenal itu semua. Sebagian kita mungkin mengenalnya ketika awal memasuki forum atau mungkin bagi sebagian lain telah tahu itu sejak aktif di da’wah sekolah. Kita mengenal berbagai karakter ada shalimul aqidah, shahihul ibadah, matinul khuluq, mutsaqaful fikri, gadirun ’alal kasbi, haritsun ’ala waqtihi, munazham fi syu;unihi, mujahidu linafsihi dan nafiun lighairihi.

Ketika kita mencoba menghubungkan antara muwashafat dengan suatu tujuan untuk kebangkitan ummat, ternyata untuk mewujudkan kebangkitan ummat kita tidak membutuhkan muwashofat kader, yang kita butuhkan adalah kader yang memenuhi muwashofat. Kita tidak butuh karakter kader untuk mempersiapkan kebangkitan ummat, yang kita perlukan itu sebenarnya adalah kader yang berkarakter. Karena kalau hari ini kita masih sibuk dengan persoalan karakter kader, maka wacana yang muncul hanya baru sebatas konsep bagaimana seorang kader ideal yang diharapkan ummat. Tetapi ketika kita berbicara tentang kader berkarakter maka berarti kita berbicara tentang kader-kader yang telah memenuhi muwashofat, otomatis di dalamnya kita telah berbicara tentang muwashafat itu sendiri.

Kebangkitan ummat yang diharapkan akan sulit terwujud jika kader yang ada masih menjadikan muwashofat sebagai pengetahuan saja, sesuatu yang hanya ditulis di buku-buku, di cantumkan di agenda-agenda rapat, diketik kemudian di tempel di dinding kamar agar ketika ada yang melihat dianggap sebagai kader yang militan. Kebangkitan ummat yang menjadi cita-cita besar itu akan makin jauh, jika muwashofat hanya menjadi slogan-slogan tanpa implementasi.

Maka agar kebangkitan ummat itu terwujud, Dibutuhkan kesungguhan dari setiap kita untuk memperbaiki kapasitas diri. Mengamalkan dengan sungguh-sungguh apa yang telah diketahui, tentunya tidak separo-separo, harus semua. Agar kader yang terbentuk juga kader yang unggul.

Tetapi untuk melahirkan seorang kader yang memenuhi karakter yang diharapkan cukuplah sulit. Bukan karena banyaknya muwashafat yang harus dipenuhi, bukan pula karena muwashafat yang ada terlalu berat. Tetapi lebih kepada dimana bagi sebagian ikhwah memandang muwashofat sebagai beban, sesuatu yang harus dipenuhi hanya karena terpaksa. Sebagian kita atau malah keseluruhan dari kita merujuknya menjadi suatu target pencapaian yang berat.

Sementara para sahabat Rasulullah SAW memandang muwashofat sebagi ciri mereka. Mereka merujuknya sebagi keutamaan diantara yang lainnya. Itu jua sebabnya mengapa para sahabat mengembangkan model amal unggulan pada setiap diri mereka.

Muwashafat ketika hanya menjadi beban maka sangat sulit akan membentuik diri seseorang menjadi kader sejati. Karena pemenuhannya terhadap muwashofat yang ada hanya teruji ketika berhadapan dengan murabbinya, ikhwah lain atau didepan petinggi jamaah saja. Padahal karakter yang diharapkan adalah karakter yang benar-benar melekat pada diri seseorang, terpatri di dirinya sampai kapanpun dan dalam kondisi apapun.

Muwashofat tidak di ukur hanya dari kuantitas dan kualitas saja. Tetapi juga dihitung dari kesiapan, kesigapan dan totalitas dalam mengenban amanah da’wah.

Maka saat ini bukan masanya lagi bagi kita berbicara dan menjelaskan panjang lebar tentang karakter kader sejati. Sekarang masanya pembuktian, tidak hanya sebatas pengetahuan, tidak hanya sebatas hafalan.

Sekarang adalah waktunya untuk melakukan pertunjukan, bukan lagi waktu untuk menghafal naskah…sehingga kebangkitan ummat itu akan semakin dekat.

Wallahu’alam bish shawwab.